Tengah tahun 2007 lalu saya berkesempatan mengantar seorang turis Amerika  yang melakukan wisata ke Tangkoko Research Park. Sebuah taman penelitian yang tersembunyi rapi di ujung pesisir Pulau Sulawesi. Turis itu bernama Thomas dan ia seorang fotografer. Yang  agak disesalkan aku tak usil menanyakan nama lengkapnya karena akhirnya kisah ini menjadi kisah seru yang tak akan kulupakan dan akan terus kuceritakan ke anak cucu kelak.
Kekayaan flora dan fauna Indonesia memang beragam, unik dan istimewa. Data dari ilmuhutan.com mennulis ada sekitar 40.000 jenis tumbuhan, 350.000 jenis hewan, 5000 jenis jamur dan 1500 jenis monera mengisi kekayan hutan Nusantara, dari Sabang sampai Merauke. Â
Dari banyaknya mahluk-mahluk endemic ini, Tangkoko Research Park adalah salah satu taman penelitian yang juga menyimpan beberapa species dan selalu jadi buruan para turis asing bahkan peneliti. Para fotografer bertaraf nasional hingga internasional tak sedikit yang pernah ke tempat ini, termasuk para produser film documenter semisal Discovery Chanel. Wilayah  endemisme  di Sulawesi Utara ini terletak di lokasi hutan Gunung Batu Angus Dua Sudara. Akan memakan waktu sekitar 1 jam jika kita menggunakan public bus dari Kota Bitung. Â
Sesungguhnya Tangkoko Researc Park ini adalah juga bagian dari apa yang disebut Garis Wallace yaitu garis hipotetis yang memisahkan wilayah geografi hewan Asia dan Australia. Dimana bagian Barat dari garis ini berhubungan dengan spesies Asian dan bagian Timur dengan spesies Australia.Â
Alfred Russel Wallace adalah sosok rujukan nama garis imajiner ini. Ia yang menemukan hasil penelitian tentang perbedaan kuat antara hewan di kedua mata angin ini kemudian membuat Indonesia menjadi terpisah oleh dua garis imajiner. Garis Wallace terletak di dua pulau antara Sulawesi dan Kalimantan. Â Dalam garis Wallace inilah hidup beberapa hewan endemic yang sangat popular dan dilindungi.
Sulawesi utara sendiri memiliki Monyet Hitam atau Black Macaca (Macaca Nigra.Lat). Tarsius Sangirensis, TarsiusTarsier (dua jenis dari 4 jenis species di Sulawesi), Hornbill atau Burung Rangkong (1 dari 2 Species yang 1 di Kalimantan). Â Semua jenis hewan inilah yang menjadi incaran para tamu. Bayangkan, untuk dapat memperoleh selembar dua lembar foto burung Rangkong, mereka relah menghabiskan anggaran ratusan juta rupiah.
Selain yang khas Sulawesi utara, ada juga beberapa yang endemic  Pulau Sulawesi. Sebut saja Anoa Pegunungan (Bubalus quarlesi/ Depressicornis u/ daratan)dan Babirusa (Babyrousa/babyrussa). Â
Nah, kalau suatu saat para kompasianer dan pembaca mau berkunjung, sekitar 30 Â kilometer dari pesisir Tangkoko Researc Park ini, ada Tanjung Pulisan yang terkenal sebagai tempat bertelur penyu sisik dan belimbing. Maka tak heran saya dan rekan-rekan WWF pernah menemukan sebuah penyu belimbing raksasa dekat sebuah pantai wisata di situ.
Yang bikin saya agak malu, si kura-kura ini se-nama dengan saya karena nama itu tertulis dilempeng besi yang ditanamkan ke bagian bawah cangkangnya.
Dan menakjubkannya, ternyata kura-kura ini berasal dari laut Amerika dan hanya datang untuk bertelur, lalu pulang lagi lewat jalan yang sama. Dijamin tak tersesat karena memang seperti itu riwayat dan takdir mereka. Itu kata saya.
Tapi kalau kata penjelasan rekan saya yang spesialis kura-kura dari WWF, wah lebih lengkap lagi dan dijamin sangat panjang dan ilmiah. Takutnya nanti saya keluar judul. (WWF = World Wide Fund for Nature)
Kembali ke Thomas, umurnya berkisar antara 40-50 tahunan. Anda ngerti kan, kalau bertemu tamu asing kita tak menanyakan info yang sangat pribadi seperti umur  Etc. Orangnya periang, tukang ngoceh serta peminum bir kelas wahid.
Suatu malam Thomas mengajak aku meneguk sedikit bir (sebenarnya semampu saya hanya saja saya orang yang payah dalam minum bir)di rumah makan Home Stay yang kami tempati. Ini di desa Batu Putih yang merupakan pintu masuk kawasan Tangkoko Researc Park. Malam itu ia agak mabuk berat lantaran sudah menghabiskan 7 botol sendirian dan saya belum mampu menghabiskan setengah botol saja.Â
Kebetulan pagi harinya kami memasuki kawasan taman dan kami bertemu segerembolan monyet berangggotakan sekitar 100-an. Itu 1 grub. Para tamu memang sengaja diantar masuk tepat pada jam disaat ada salah 1 grub monyet ini turun mencari makan di pingir laut. Sedang di lokasi taman ada 3 grub monyet yang masih terpeliharaÂ
"Franklin, did you notice the monkey this afternoon?" katanya pada saya. Â Artinya, kau perhatikan tingkah para monyet tadi sore? Lalu saya jawab, "Yes. What is wrong?." Ekspresi kacau dia menggeleng dan bilang "They really are like humans. I Have increasingly believed in Darwinian evolution."
Artinya lagi, mereka sungguh seperti manusia saya jadi semakin percaya pada evolusi Darwin). How about you?" ia bertanya lagi. Saya agak bingung. Soalnya maunya saya,  jawab iya saja, sekedar hanya untuk menyenangkan hatinya. Sayangnya saya termasuk orang yang tak bisa palsu, apapun resikonya. "Sorry  I stell don't believe." Jawab saya pendek.
Dan saya melihat wajah ketidaksenangannya atas ketidaksetujuan saya. "Owwhh... Why? Watch as they sit, eat, and look for fleas? Very similar to our style!" Â nadanya agak tinggi dan memaksa sebagaimana orang yang mulai mabuk pada umumnya.
Dia bilang, kenapa saya tidak percaya? Pada kalau mereka (para monyet) duduk, makan, dan cari kutu, mereka terlihat persis seperti kita. Dan dia mulai mengoceh serta mendesak saya. Bahkan dua turis wanita yang duduk disebelah kami pindah meja karena Thomas sudah mulai mabuk.
Saya juga sudah mulai gerah dengan sifatnya. Ini bule tak sopan yang pernah aku temui, pikir saya, mungkin juga karena saya sudah mulai terbawa oleh segelas bir yang saya habiskan.
Di tengah-tengah argumennya yang semakin menjadi saya menjawabnya dengan ketus. "whatever the words and reasons, I still can't believe it!" Â mataku agak panas waktu mengatakan itu. "We religious people don't believe that we are monkey breeds. And my grandma is not a monkey. Maybe your grandma. So I call you as white monkey!" tanpa sadar kata-kata agak kasar itu keluar dari mulut ku. Ini gara-gara miras, kata lagu dangdut.
Saya dapat melihat perubahan wajahnya yang langsung memerah. Ternyata ia belum begitu mabuk. Dan ia tak bisa bicara apalagi menolak. Bukankah ia telah membuat pengakuan bahwa ia mempercayainya? Sementara dadaku agak terasa penuh dan mulai sesak oleh emosi. "Ok, alright. Franklin couldn't believe it, I'd better go to sleep," katanya; baiklah franklin tidak percaya, baiknya saya pergi tidur saja.
Lalu ia segera meningaalkan saya sendiri di hadapan botol-botol bir itu. Dasar mabuk, batinku. Enak saja memaksakan kehendaknya. Apalagi saya harus jadi seekor monyet, pikirku kesal sekali. Dalam niat ku akan akan segera memutuskan hungan kerja, meminta sejumlah uang setelah beberapa hari dalam tim. Ini harus karena ini adalah masalah prinsip.
Dan itu harus dilakukan pagi-pagi hari sebelum tim bergerak lagi masuk taman dengan agenda harian memotret sesi burung Rangkong jantan yang pulang sore untuk membeir makan betinanya di dalam batang pohon. Sekedar info, ini adalah sesi foto / moment berharga yang paling di cari.
Malam itu aku tidur dengan perasaan orang timur yang sensitive akan harga diri, prinsip hidup dan keyakinan yang terluka oleh seorang bule keturunan monyet.
Besoknya aku terbangun sudah jam 08.00. Astaga! Jangan-jangan Thomas sudah masuk lokasi, batinku karena tak mendengar suara apapun. Tanpa cuci muka dulu saya lalu melonggok keluar. Tak ada orang. Dengan agak mengendap aku keluar dari kamar. Pandanganku focus pada pintu kamar Thomas yang tertutup rapat. Sepi sekali, pikirku. Tiba-tiba, "Hi my good friend, Franklin!" aku membalik badan dan ia berdiri disana. Tepat satu meter di depan ku. Tangannya terentang lebar, seolah seorang kekasih yang berpisah lama dan rindu untuk  menumpahkannya dalam pelukan hangat. Benar saja. Ia serius sekali. Ia mendekapku erat sekali dan terperangkap seperti tikus dalam pipa kecil.
Ada semburan api naga di mulut ku, ada tatapan tak suka seekor banteng yang terluka, lirik-lirik sair penolakkan dan keangkuhan seorang manusia ciptaan Tuhan dan bukan turunan monyet. Semua itu sudah aku persiapkan untuk menghadapinya pagi ini sebelum dengan ketus meminta upah kerjaku selama 3 hari. Itu hakku. Tapi bibirku kelu. Kerongkonganku tercekat. Mata ku mulai panas lagi. Aku jadi seperti wanita melankolis yang semalam baru lempar-lemparan piring dengan suami kemudian diajak rujuk pada pagi harinya lewat permintaan maaf dan setangkai rosi segar.
"Don't remember last night. It has passed." Katanya, jangan ingat semalam. Itu sudah lewat. Haaaddeeeehhh!!! Â Imajinasiku langsung menayangkan adegan aku mengenakan sarung tinju dan menghajar perut dan mulutnya beberapa kali.
Tapi akhirnya aku bilang. "Thomas in Indonesia, the words from last year can kill you today." Artinya, Thomas. Di Indonesia, kata-kata pada tahun lalu bisa membunuhmu pada hari ini." Aku melihat lagi perubahan di wajah ceria itu, ia agak tersugesti. "Oh ya?" katanya nyaris tak terdengar. Lalu aku tersenyum sambil menggeleng untuk menghiburnya. Itu juga bentuk perkataan maaf dari ku. "Ah. You just believe it. That's just my boast." Kataku, Ah, kau percaya saja, itu hanyalah bualanku.
Lalu kami tertawa bersama dengan keras membuat tamu lain yang ada di home stay ini menoleh dari kamar mereka. dalam hati ku ada rasa sedih dan juga galau. Ah, Thomas. Kalau saja kau tahu. Bahwa memang seperti itu keadaan orang-orang di bangsaku. Kata-kata tahun lalu bisa membunuh seseorang hari ini.
Masih banyak orang yang begitu gampang tersinggung dan melukai bahkan membunuh hanya karena hal yang sangat sepele. Thomas, Thomas. Kalau saja kau bukan turunan monyet. Maaf bercanda lagi. Maksudku kalau saja kau tidak bilang bahwa kau sangat percaya dengan evolusi Darwin, aku pasti meminta engkau berdoa juga untuk bangsaku agar masyarakat kami semakin hari semakin dewasa dan tak gampang tersinggung oleh hal kecil yang tak perlu ditanggapi. Tapi adakah di dunia ini masyarakat yang dewasa? @Mdo-03.00, subuh/suara burung diluar menitip damai kecil di hati@ Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI