Kembali ke Thomas, umurnya berkisar antara 40-50 tahunan. Anda ngerti kan, kalau bertemu tamu asing kita tak menanyakan info yang sangat pribadi seperti umur  Etc. Orangnya periang, tukang ngoceh serta peminum bir kelas wahid.
Suatu malam Thomas mengajak aku meneguk sedikit bir (sebenarnya semampu saya hanya saja saya orang yang payah dalam minum bir)di rumah makan Home Stay yang kami tempati. Ini di desa Batu Putih yang merupakan pintu masuk kawasan Tangkoko Researc Park. Malam itu ia agak mabuk berat lantaran sudah menghabiskan 7 botol sendirian dan saya belum mampu menghabiskan setengah botol saja.Â
Kebetulan pagi harinya kami memasuki kawasan taman dan kami bertemu segerembolan monyet berangggotakan sekitar 100-an. Itu 1 grub. Para tamu memang sengaja diantar masuk tepat pada jam disaat ada salah 1 grub monyet ini turun mencari makan di pingir laut. Sedang di lokasi taman ada 3 grub monyet yang masih terpeliharaÂ
"Franklin, did you notice the monkey this afternoon?" katanya pada saya. Â Artinya, kau perhatikan tingkah para monyet tadi sore? Lalu saya jawab, "Yes. What is wrong?." Ekspresi kacau dia menggeleng dan bilang "They really are like humans. I Have increasingly believed in Darwinian evolution."
Artinya lagi, mereka sungguh seperti manusia saya jadi semakin percaya pada evolusi Darwin). How about you?" ia bertanya lagi. Saya agak bingung. Soalnya maunya saya,  jawab iya saja, sekedar hanya untuk menyenangkan hatinya. Sayangnya saya termasuk orang yang tak bisa palsu, apapun resikonya. "Sorry  I stell don't believe." Jawab saya pendek.
Dan saya melihat wajah ketidaksenangannya atas ketidaksetujuan saya. "Owwhh... Why? Watch as they sit, eat, and look for fleas? Very similar to our style!" Â nadanya agak tinggi dan memaksa sebagaimana orang yang mulai mabuk pada umumnya.
Dia bilang, kenapa saya tidak percaya? Pada kalau mereka (para monyet) duduk, makan, dan cari kutu, mereka terlihat persis seperti kita. Dan dia mulai mengoceh serta mendesak saya. Bahkan dua turis wanita yang duduk disebelah kami pindah meja karena Thomas sudah mulai mabuk.
Saya juga sudah mulai gerah dengan sifatnya. Ini bule tak sopan yang pernah aku temui, pikir saya, mungkin juga karena saya sudah mulai terbawa oleh segelas bir yang saya habiskan.
Di tengah-tengah argumennya yang semakin menjadi saya menjawabnya dengan ketus. "whatever the words and reasons, I still can't believe it!" Â mataku agak panas waktu mengatakan itu. "We religious people don't believe that we are monkey breeds. And my grandma is not a monkey. Maybe your grandma. So I call you as white monkey!" tanpa sadar kata-kata agak kasar itu keluar dari mulut ku. Ini gara-gara miras, kata lagu dangdut.
Saya dapat melihat perubahan wajahnya yang langsung memerah. Ternyata ia belum begitu mabuk. Dan ia tak bisa bicara apalagi menolak. Bukankah ia telah membuat pengakuan bahwa ia mempercayainya? Sementara dadaku agak terasa penuh dan mulai sesak oleh emosi. "Ok, alright. Franklin couldn't believe it, I'd better go to sleep," katanya; baiklah franklin tidak percaya, baiknya saya pergi tidur saja.
Lalu ia segera meningaalkan saya sendiri di hadapan botol-botol bir itu. Dasar mabuk, batinku. Enak saja memaksakan kehendaknya. Apalagi saya harus jadi seekor monyet, pikirku kesal sekali. Dalam niat ku akan akan segera memutuskan hungan kerja, meminta sejumlah uang setelah beberapa hari dalam tim. Ini harus karena ini adalah masalah prinsip.