Aku baru bangun dan tiba-tiba teringat padamu. Lebih tepatnya aku tiba-tiba takut kau meninggalkan aku. Baru saja aku membuka gawaiku yang lugu, melihat snapmu (sebuah tangkapan layar videocall antara kau dan dia). Belakangan, kau memang terlihat lebih dekat dengannya daripada aku.
"Kau tak sempat menerima videocall dariku," aku mengirimkan pesan.
"Aku sedang di kampus waktu itu,"
"Sekarang kau menerima videocall darinya,"
"Aku sedang tidak apa-apa di kos."
Seperti biasa, di matamu, dia selalu lebih tepat waktu dari pada aku.
Sebelumnya kau dan dia tidak pernah saling menyapa. Tapi sejak aku dan kau putus pada bulan-bulan yang lalu, kau mulai dekat dengannya. Dia mengirimimu pesan, menelfon, dan meluangkan waktu jika kau ingin bercerita tentang aku. Aku tahu semuanya, sebab dia sendiri yang mengatakan akan membantuku agar dapat kembali denganmu. Benar saja, dia membantuku untuk yakin bahwa kau masih merindukan aku. Sampai pada akhirnya sekarang kita berpacaran kembali.
Jika aku tak ada saat kau butuh sesuatu, aku meminta bantuannya untuk memenuhi kebutuhanmu. Jika aku tak sempat mengantarmu pulang, aku meminta bantuannya untuk mengantarmu. Memang. Akulah yang memulai kedekatan kau dan dia.
Kau tahu, aku benar-benar sibuk. Selain masih mahasiswa, aku juga kerja paruh waktu di sebuah toko pakaian. Di waktu pagi aku harus kuliah, dan sore sampai malam aku harus melayani orang-orang berbelanja. Sementara, kampusmu dan kampusku tidaklah berada di kota yang sama. Kita begitu jarang bertemu, bahkan untuk bermalam minggu (kau mengerjakan tugas, aku mengusaikan jam kerja). "Maaf sayang, aku tidak sempat. Nanti aku minta bantuan Rio", demikian aku sering menjawabmu jika memerlukan sesuatu. sedangkan dia tak pernah menolak, dia selalu meluangkan waktu untukmu.
Sampai sekarang, kau dan dia seperti sengaja meluangkan waktu bersama. Kau tak perlu lagi memberi tahu jika pulang, menelfon, atau melakukan banyak hal dengannya. "Kawan, kau jangan khawatir. Aku hanya membantunya", dia pernah mengatakan itu ketika aku mulai bersikap tak wajar kepadanya, misal, aku tak pernah lagi menggedor pintu kosnya setiap pagi untuk berkuliah, atau tak pernah lagi menolfonnya agar bisa ngopi bersama di kantin. "Sayang, kamu jangan khawatir. Dia hanya membantuku", ah, bahkan ucapanmu dan dia begitu sama, begitu serasi, begitu sepasang.
Setelah berpesan-pesanan sebentar denganmu, aku mengalungkan handuk di leherku dan hendak mandi. Di sebelah kosku, dia sudah duduk di bangku kesukaannya dengan secangkir kopi di tangan kiri dan gawai di tangan kanan. Iya, aku mengerti, baru saja kau dan dia ber-videocall. Kau membuatnya rapi dan ceria sepagi ini (aku mengenalnya, dia tidak pernah peduli dengan pagi, bahkan setiap kuliah pagi dia pasti terlambat ke kampus). "Selamat pagi, kawan", dia menyapa. Aku hanya tersenyum, begitu tipis, begitu berat, dan hanya melaluinya begitu saja memasuki kamar mandi yang tepat di depan kosnya. Dia bahkan tidak member tahu bahwa kau dan dia baru saja online bersama.