Saya tertawa. Tapi di dalam hati, saya bangga. Karena ia sedang belajar tentang nilai dari usaha. Dan itu tidak bisa dibeli. Itulah awal dari kesadaran: bahwa uang datang bukan dari permintaan, tapi dari kontribusi.
Ketika Menunda Menjadi Kecakapan Hidup
Suatu kali, ia ingin membeli mainan robot yang sedang diskon. Tapi uangnya belum cukup. Saya bersiap menasihati, tapi ia lebih dulu berkata:
"Nggak jadi, deh. Nabung lagi aja."
Saya tertegun. Anak sepuluh tahun saya baru saja mempraktikkan salah satu pilar kecakapan hidup paling sulit: menunda kesenangan.
Itu bukan karena saya menceramahinya soal 'delayed gratification'. Tapi karena di meja makan, kami sering bicara tentang pilihan. Tentang rasa cukup. Tentang mimpi yang butuh waktu.
Dan inilah pentingnya membiasakan obrolan kecil yang bermakna. Bukan hanya untuk mendidik, tapi untuk membentuk karakter.
Budaya Konsumtif yang Mengintai Anak-anak
Menurut laporan Common Sense Media menyebut pada tahun 2023 bahwa anak-anak 8 tahun ke atas menghabiskan rata-rata lebih dari 7 jam per hari menggunakan media layar, dengan hampir semua jenis media tersebut menyertakan iklan. Sementara itu, menurut Children and Screens (Juni2023), remaja melihat sekitar 1 iklan setiap 10 detik saat scrolling, yang setara dengan 420 iklan per jam.
Kebanyakan iklan tentang produk yang menjanjikan kebahagiaan instan. Dunia mereka dikepung oleh "beli ini sekarang juga", bukan "tunggu sebentar, pikir dulu".
Dan saya sadar, jika saya tidak mengajak anak saya bicara tentang uang, dunia akan melakukannya lebih dulu. Dan dunia tidak selalu mengajarkan yang benar.
Anak-anak tidak belajar nilai uang dari angka, tapi dari sikap orang tua terhadap uang.
Apa yang kita contohkan, jauh lebih kuat daripada apa yang kita ucapkan.
Uang dan Kasih Sayang Tidak Bisa Ditukar
Saya tidak ingin uang jadi alat tawar.