Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kenapa Kita Perlu Belajar Mendengarkan, Bukan Sekadar Menjawab

18 Juni 2025   07:20 Diperbarui: 18 Juni 2025   07:20 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wajah seseorang yang menangis pelan dalam diam—tak butuh jawaban, hanya kehadiran yang utuh untuk merasa dimengerti dan tidak sendiri. (Pexels)

Diam yang Tidak Pernah Kita Pelajari

Pernahkah kamu merasa begitu ingin didengar, tapi lawan bicaramu justru sibuk merangkai jawaban sebelum kamu selesai bicara?

Saya pernah. Bahkan lebih sering dari yang saya kira.

Suatu malam, seseorang yang saya sayangi duduk di hadapan saya. Wajahnya lelah, matanya sembab. Ia mulai bicara tentang pekerjaan yang membuat napasnya berat, tubuh yang seperti ingin menyerah, dan rasa lelah yang tak sempat dijelaskan dengan kata.

Saya ada di sana. Secara fisik. Tapi tidak benar-benar hadir.

Saya hanya diam, menunggu giliran bicara. Dan saat ia selesai, saya langsung merespons cepat, seolah-olah saya punya semua jawaban di dunia: "Coba jangan terlalu dipikirin. Jalan-jalan aja. Itu pasti stres."

Tapi alih-alih tersenyum, ia hanya menatap saya dan berkata pelan, "Aku nggak butuh solusi. Aku cuma pengin kamu dengerin."

Dan saat itu saya sadar betapa seringnya saya hanya menunggu giliran bicara, bukan benar-benar mendengarkan.

Kita Hidup di Era Respons Instan

Kita hidup di zaman ketika kecepatan membalas sering disalahartikan sebagai bentuk kepedulian. Pesan belum selesai diketik, kita sudah menulis balasan. Lawan bicara baru membuka luka, kita sudah buru-buru menambalnya.

Tapi... benarkah itu bentuk kepedulian? Atau hanya refleks sosial. Kita takut dianggap lambat, takut terlihat tidak peduli, jadi kita merespons secepat mungkin meski belum benar-benar menyimak?

Budaya digital membentuk kita menjadi penjawab otomatis. Kita dilatih untuk memberikan reaksi cepat, bukan kehadiran utuh. Bahkan saat seseorang bicara langsung di depan kita pun, pikiran kita sibuk merancang kalimat balasan bukan memeluk sunyi di antara kata-kata mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun