Diam yang Tidak Pernah Kita Pelajari
Pernahkah kamu merasa begitu ingin didengar, tapi lawan bicaramu justru sibuk merangkai jawaban sebelum kamu selesai bicara?
Saya pernah. Bahkan lebih sering dari yang saya kira.
Suatu malam, seseorang yang saya sayangi duduk di hadapan saya. Wajahnya lelah, matanya sembab. Ia mulai bicara tentang pekerjaan yang membuat napasnya berat, tubuh yang seperti ingin menyerah, dan rasa lelah yang tak sempat dijelaskan dengan kata.
Saya ada di sana. Secara fisik. Tapi tidak benar-benar hadir.
Saya hanya diam, menunggu giliran bicara. Dan saat ia selesai, saya langsung merespons cepat, seolah-olah saya punya semua jawaban di dunia: "Coba jangan terlalu dipikirin. Jalan-jalan aja. Itu pasti stres."
Tapi alih-alih tersenyum, ia hanya menatap saya dan berkata pelan, "Aku nggak butuh solusi. Aku cuma pengin kamu dengerin."
Dan saat itu saya sadar betapa seringnya saya hanya menunggu giliran bicara, bukan benar-benar mendengarkan.
Kita Hidup di Era Respons Instan
Kita hidup di zaman ketika kecepatan membalas sering disalahartikan sebagai bentuk kepedulian. Pesan belum selesai diketik, kita sudah menulis balasan. Lawan bicara baru membuka luka, kita sudah buru-buru menambalnya.
Tapi... benarkah itu bentuk kepedulian? Atau hanya refleks sosial. Kita takut dianggap lambat, takut terlihat tidak peduli, jadi kita merespons secepat mungkin meski belum benar-benar menyimak?
Budaya digital membentuk kita menjadi penjawab otomatis. Kita dilatih untuk memberikan reaksi cepat, bukan kehadiran utuh. Bahkan saat seseorang bicara langsung di depan kita pun, pikiran kita sibuk merancang kalimat balasan bukan memeluk sunyi di antara kata-kata mereka.