Pungli Komite Sekolah: Beban yang Tak Terlihat di Balik Pendidikan
Ada saatnya kita bertanya, bagaimana pendidikan yang kita harapkan bisa berjalan sempurna, sementara di balik itu masih ada hal-hal yang mengganjal? Saya teringat ketika membaca berita tentang pungutan liar (pungli) di SMK Negeri 13 Bandung. Komite sekolah konon menggalang dana sebesar Rp5,5 juta untuk setiap siswa kelas 11. Angka yang cukup besar, bukan? Dan yang membuat saya lebih bertanya-tanya, uang itu untuk apa sebenarnya? (Kompas.Com, 22/05/2025)
Saat Pendidikan Jadi Beban
Saya pernah berada di posisi orang tua siswa, merasakan bagaimana setiap rupiah dari kantong harus dipikirkan dengan sangat matang. Sekolah negeri seharusnya menjadi tempat di mana setiap anak mendapat kesempatan yang adil dan tanpa beban finansial yang tidak jelas. Namun, pungutan semacam ini, seperti yang dialami siswa dan orang tua di SMKN 13 Bandung, mengubah harapan itu menjadi beban baru.
|Baca Juga:Â Mengapa Sistem Kelas Tradisional Tidak Lagi Cukup untuk Generasi Z?
Apa yang kita bayangkan saat pertama kali mendaftarkan anak ke sekolah negeri? Biasanya, angan tentang tempat yang memberi pendidikan gratis atau setidaknya sangat terjangkau. Tapi ketika ada tambahan biaya yang tidak resmi dan terasa dipaksakan, maka itu bukan lagi sumbangan sukarela, melainkan pungutan yang bisa memberatkan keluarga.
Cerita Mereka yang Tidak Tertulis di Berita
Saya membayangkan bagaimana orang tua yang mengadu keberatan. Mungkin mereka bukan cuma soal uang Rp5,5 juta itu. Bisa jadi, ada rasa takut, malu, atau bahkan bingung, kepada siapa harus mengeluh. Sebagian besar mungkin diam, takut anaknya diperlakukan berbeda atau takut membuat masalah. Lalu, siapa yang paling berani melapor? Seperti dikisahkan, hanya satu orang yang berani membuka suara.
|Baca Juga:Â Mengapa Menulis Tangan dan Buku Cetak Kembali Jadi Pilihan Utama di Pendidikan Moderen?
Ini bukan soal nominal, tapi soal keadilan dan rasa hormat terhadap hak-hak warga sekolah. Karena bila satu orang berani bicara, sesungguhnya banyak yang menyimpan beban yang sama. Di situlah saya bertanya: Apakah kita sudah cukup memberi ruang bagi mereka untuk bersuara? Apakah sistem kita cukup melindungi mereka yang rentan?
Mengapa Pungli Terjadi?
Kita perlu jujur melihat mengapa pungli bisa muncul di sekolah negeri. Salah satu alasannya adalah kekurangan dana operasional yang kadang membuat sekolah atau komite merasa perlu mencari dana tambahan. Tapi, aturan jelas mengatakan bahwa sekolah negeri tidak boleh memungut uang dari orang tua siswa karena pendanaan sudah ditanggung pemerintah.
Namun, apakah realitanya sesuai aturan? Tidak selalu. Kadang birokrasi lambat, atau dana yang dialokasikan tidak cukup mengakomodasi kebutuhan sekolah, apalagi untuk kegiatan seperti study tour, perbaikan fasilitas, atau kebutuhan mendadak. Di sinilah celah bagi pungutan-pungutan yang seharusnya tidak ada.
Apakah Kita Pernah Merasakan Hal Serupa?
Kalau boleh jujur, saya yakin sebagian besar dari kita pernah mengalami situasi di mana pendidikan tidak sepenuhnya gratis, meski katanya negeri. Entah itu biaya seragam, buku, atau sumbangan yang seolah wajib, yang akhirnya terasa seperti beban tak terucapkan.