Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Siswa Lancar Chatting, Tapi Masih Gagap Membaca?

16 Mei 2025   11:52 Diperbarui: 16 Mei 2025   11:52 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang siswa fokus mengetik di ponsel, tapi kesulitan saat diminta membaca buku pelajaran di kelas.  (Pixbay)

Di luar ruang kelas, hidup terus bergerak cepat. Dunia tak menunggu orang yang lambat membaca. Dan ini bukan soal anak bodoh atau pintar. Ini soal ketimpangan akses, sistem yang terlalu sibuk mengejar angka, dan masyarakat yang masih menganggap literasi itu cuma tugas sekolah, bukan keterampilan hidup.

Literasi bukan soal bisa membaca cepat, tapi tentang mengerti pelan-pelan apa yang sedang terjadi di dunia.

Aku pernah mengajar anak yang pindah masuk dari sekolah lain. Di tempat sebelumnya, tak ada perpustakaan, tak ada buku bacaan menarik. Ia datang ke kelasku dengan rasa malu. Saat kutanya, "Kamu suka baca?" Ia menjawab, "Kalau komik, iya, Pak."

Dan dari situlah aku mulai. Kami baca komik bareng. Lama-lama, dia tertarik baca artikel pendek. Lalu esai. Lalu novel ringan. Kini dia kuliah di luar pulau, jadi mahasiswa yang aktif di klub jurnalistik. Tapi proses itu panjang. Dan sistem kita tak selalu sabar menunggu.

Mengapa Mereka Bisa Lulus?

Mungkin ini yang jadi pertanyaan banyak orang: bagaimana bisa siswa yang belum lancar membaca, tetap bisa lulus SMA? 

Jawaban jujurnya menyakitkan. Kadang, sistem evaluasi kita terlalu fokus pada angka, bukan proses. Kadang, guru pun lelah bertarung dengan target administrasi, sehingga tak sempat melihat siapa yang tertinggal.

Dan ya, di beberapa sekolah, ada budaya "kasih nilai cukup, asal naik kelas." Sebuah kompromi yang menyedihkan. Tapi juga sebuah refleksi dari tekanan yang dialami semua pihak: guru, siswa, bahkan orang tua.

Tentu, tidak semua sekolah begitu. Banyak guru yang luar biasa, yang rela mengajar tambahan tanpa dibayar. Tapi sistem ini terlalu besar untuk diselamatkan oleh niat baik saja.

Apakah Kita Akan Menertawakan Atau Mendampingi?

Menarik. Kompas. com (16/05/2025) menurunkan berita tentang adanya siswa lulusan sekolah menengah atas (SMA) yang belum lancar membaca. 

Dalam berita itu, disebutkan bahwa siswa yang dianggap tidak lancar membaca ternyata fasih menggunakan ponsel, bisa membalas pesan, dan sekarang sudah bekerja. Apakah itu cukup sebagai pembelaan?

Menurut saya, tidak. Justru ini tanda bahwa kita perlu lebih kritis. Literasi bukan soal bisa "chatting," tapi soal bisa berpikir, menganalisis, dan memahami dunia. Kalau tidak, kita hanya melahirkan generasi yang cepat mengetik tapi lambat mencerna.

Saya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Tapi saya juga tidak ingin diam. Karena saat kita menormalisasi bahwa "bisa main HP = sudah cukup," kita sedang menyederhanakan masalah yang kompleks.

Kita Butuh Lebih dari Sekadar Angka Kelulusan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun