"Kalau kamu menilai ikan dari kemampuannya memanjat pohon, ia akan seumur hidup percaya bahwa dirinya bodoh."
Saya pernah duduk di bangku SMA, di barisan yang tidak pernah dianggap unggul. Bukan karena saya bandel. Bukan pula karena saya tak berusaha. Tapi karena saya tidak pandai Matematika.Â
Di sistem itu, kalau kamu tak lulus ujian Matematika dan IPA, kamu dianggap kurang cerdas. Dan jika kamu lebih suka menulis puisi, menggambar langit senja, atau mendalami filosofi kehidupan, kamu hanya dianggap "berbakat di luar akademik."
Saya tumbuh dengan keyakinan bahwa nilai adalah segalanya. Semakin tinggi nilaimu, semakin cemerlang masa depanmu.Â
Tapi keyakinan itu mulai retak ketika saya sadar: banyak teman saya yang dulu duduk di barisan belakang, yang nilai rapornya tak pernah jadi contoh di kelas, ternyata sekarang jauh lebih bahagia, lebih berhasil, dan lebih selaras dengan dirinya sendiri dibanding mereka yang dulu selalu ranking satu.
Sistem Pendidikan yang Menyamaratakan Semua Bakat
Kita hidup dalam sistem yang mengandalkan satu ukuran untuk semua jenis kecerdasan. Seolah hanya ada satu cara menjadi "pintar," dan selebihnya adalah penyimpangan.
"Mengapa kita memaksa semua orang untuk menjadi seragam, padahal dunia justru maju karena keberagaman?"
Lihatlah bagaimana kita menyusun kurikulum. Sebagian besar berpusat pada angka, rumus, dan hafalan. Kita menilai kemampuan seorang anak dari seberapa cepat ia bisa menjawab soal logika.Â
Kita mengabaikan cara dia melihat dunia, cara dia mencintai proses, atau cara dia menghidupkan sesuatu lewat seni dan empati.
Ketika seorang anak tidak cocok dengan sistem ini, kita menyebutnya kurang disiplin, tidak fokus, atau bahkan gagal. Padahal mungkin, sistemlah yang gagal memahami cara belajar anak itu.