Mohon tunggu...
EVRIDUS MANGUNG
EVRIDUS MANGUNG Mohon Tunggu... GURU - PENCARI MAKNA

Berjalan terus karena masih diijinkan untuk hidup. Sambil mengambil makna dari setiap cerita. Bisikkan padaku bila ada kata yang salah dalam perjalanan ini. Tetapi adakah kata yang salah? Ataukah pikiran kita yang membuat kata jadi serba salah?

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sistem Pendidikan Kita Menilai Ikan dari Cara Memanjat Pohon, dan Kita Bertanya Kenapa Mereka Gagal

14 Mei 2025   21:01 Diperbarui: 14 Mei 2025   21:01 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Setiap makhluk itu unik, tapi penilaian yang seragam membuat banyak yang merasa tak berharga.  (Sumber: Pixbay))

"Kalau kamu menilai ikan dari kemampuannya memanjat pohon, ia akan seumur hidup percaya bahwa dirinya bodoh."

Saya pernah duduk di bangku SMA, di barisan yang tidak pernah dianggap unggul. Bukan karena saya bandel. Bukan pula karena saya tak berusaha. Tapi karena saya tidak pandai Matematika. 

Di sistem itu, kalau kamu tak lulus ujian Matematika dan IPA, kamu dianggap kurang cerdas. Dan jika kamu lebih suka menulis puisi, menggambar langit senja, atau mendalami filosofi kehidupan, kamu hanya dianggap "berbakat di luar akademik."

Saya tumbuh dengan keyakinan bahwa nilai adalah segalanya. Semakin tinggi nilaimu, semakin cemerlang masa depanmu. 

Tapi keyakinan itu mulai retak ketika saya sadar: banyak teman saya yang dulu duduk di barisan belakang, yang nilai rapornya tak pernah jadi contoh di kelas, ternyata sekarang jauh lebih bahagia, lebih berhasil, dan lebih selaras dengan dirinya sendiri dibanding mereka yang dulu selalu ranking satu.

Sistem Pendidikan yang Menyamaratakan Semua Bakat

Kita hidup dalam sistem yang mengandalkan satu ukuran untuk semua jenis kecerdasan. Seolah hanya ada satu cara menjadi "pintar," dan selebihnya adalah penyimpangan.

"Mengapa kita memaksa semua orang untuk menjadi seragam, padahal dunia justru maju karena keberagaman?"

Lihatlah bagaimana kita menyusun kurikulum. Sebagian besar berpusat pada angka, rumus, dan hafalan. Kita menilai kemampuan seorang anak dari seberapa cepat ia bisa menjawab soal logika. 

Kita mengabaikan cara dia melihat dunia, cara dia mencintai proses, atau cara dia menghidupkan sesuatu lewat seni dan empati.

Ketika seorang anak tidak cocok dengan sistem ini, kita menyebutnya kurang disiplin, tidak fokus, atau bahkan gagal. Padahal mungkin, sistemlah yang gagal memahami cara belajar anak itu.

Tak Semua Anak Butuh Tangga yang Sama

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun