Saya pernah bertemu dengan anak yang nilainya selalu rendah. Di rapor, ia tampak seperti siswa yang gagal.
Tapi suatu hari, saya melihat ia membujuk temannya yang menangis karena dimarahi guru lain. Dengan sabar dan lembut. Hari itu, saya tahu: anak ini tidak gagal. Ia sedang tumbuh dengan caranya sendiri.
Nilai akademik itu penting, iya. Tapi kadang kita lupa, nilai empati, keberanian, dan kejujuran juga layak dihargai. Dan sering kali, nilai-nilai itu tidak tercetak dalam angka, tapi dalam cerita.
Refleksi Saya Sebagai Guru
Saya tidak menulis ini untuk mengajari siapa pun. Saya menulis ini karena saya juga sedang belajar.
Belajar untuk lebih peka. Belajar untuk tidak hanya melihat siswa dari hasil ulangan, tapi juga dari tatapan mata mereka saat saya berbicara. Dari nada suara mereka saat menjawab. Dari cara mereka duduk, berjalan, dan diam.
Menurut saya, guru hari ini perlu menjadi lebih banyak pendengar daripada pembicara. Karena banyak anak yang tidak butuh petuah, mereka hanya butuh didengar.
Menjadikan Kelas Sebagai Tempat yang Layak Ditinggali Hati
Bukan hanya siswa yang butuh rasa aman, guru juga. Kadang, kita juga datang ke kelas dengan hati yang lelah.
Tapi saat kita sama-sama menyadari bahwa kelas bukan tempat sempurna, melainkan tempat tumbuh bersama, maka akan ada ruang untuk saling memahami.
Saya ingin kelas jadi tempat di mana anak bisa berkata, "Saya nggak tahu," tanpa takut ditertawakan.
Tempat di mana seorang siswa bisa menangis dan tak merasa lemah karenanya. Tempat di mana tawa tidak perlu jadi topeng.
Karena Kita Semua Pernah Jadi Murid
Dan mungkin, tulisan ini juga untuk saya yang dulu. Anak yang takut menjawab soal karena pernah dipermalukan.