Tapi beberapa menit kemudian, saya melihat salah satu dari mereka duduk sendiri di tangga belakang sekolah. Kepalanya tertunduk. Ia bilang, "Saya ketawa tadi biar nggak kelihatan sedih, Pak."
Saya terdiam. Lalu ikut duduk di sampingnya. Dalam diam itu, saya sadar: ada banyak hal yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata, tapi bisa dirasakan dengan empati.
Kelas, sekali lagi, bukan sekadar tempat menghafal materi. Ia juga ruang di mana siswa belajar menyembuhkan.
Cemas yang Tak Diundang, Tapi Selalu Hadir
Saya sering bertanya pada diri sendiri, berapa banyak anak yang masuk ke kelas dengan perasaan tidak cukup pintar? Tidak cukup baik? Tidak cukup pantas?
Menurut data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbudristek), angka siswa yang mengalami kecemasan akademik meningkat. Tekanan untuk berprestasi, ketakutan akan kegagalan, serta dinamika sosial di sekolah menjadi pemicu utama.
Dan sayangnya, kecemasan itu sering tak terlihat. Ia menyamar dalam bentuk anak yang terlalu pendiam, atau justru yang terlalu cerewet.
Ia menyelinap lewat tawa yang dipaksakan, atau jawaban yang terdengar asal-asalan agar tak terlihat bodoh.
Doa-doa yang Tak Pernah Terucap
Ada satu hal yang membuat saya selalu merasa kecil setiap kali berdiri di depan kelas: saya tahu, saya tidak tahu segalanya.
Ada banyak hal yang tak bisa saya bantu. Tapi saya percaya, tiap pagi, ada doa-doa yang tak terucap yang ikut masuk ke kelas bersama anak-anak itu.
Doa agar hari ini tidak dimarahi. Doa agar bisa menjawab dengan lancar. Doa agar tidak ada yang menertawakan.
Saya percaya, guru bukan penyelamat. Tapi kita bisa jadi pelipur. Kita mungkin tak bisa menyembuhkan semuanya, tapi kita bisa membuat kelas terasa lebih aman untuk menjadi diri sendiri.