Kegelapan menyelinap pergi membawa sejuta duka. Yang tersisa hanya bisikkan halus  pada dinding memoriku.
"Aku kegelapan. Merintih dalam diam yang panjang sebab aku selalu disandingkan dengan dosa. Jika anak manusia berbuat dosa, aku dibilang kegelapan dosa. Di pub-pub yang hiasi wanita yang suka menjajakan diri, aku disandingkan dengan kegelapan dunia malam.  Sepertinya ada dosa selalu ada aku. Apa salahku?"
Aku hanya mengangguk dilematis. Bagiku, pikiranku telah banyak melakukan kekerasan. Setiap kekerasan bermula pada pikiran ini. Pikiran secara sepihak mengadili setiap kata, setiap tindakan.
 "Kurang apa lagi diriku ini.  Aku adalah pembatas cahaya siang. Aku yang memberimu tanda bahwa dirimu telah lelah bekerja sejauh terang, maka istirahatlah.  Aku adalah warna. Ya, warna hitam. Ingatlah, hanya di dalam kegelapan, kamu dapat melihat bintang-bintang. Lagi pula gelapnya diriku bukan kemauanku. Aku ada sebelum anak manusia ada. Aku sebenarnya adalah realita. Menentang realita berarti menantang hukum alam", kata kegelapan padaku.
Lalu aku bangkit dari duduk lama yang panjang
Menikmati malam dengan menengok bintang di bentangan cakrawala
Lalu masuk dalam keheningan dalam tak terkira nikmatnya.