Â
Bagi masyarakat adat di Tanah Papua, hutan adalah pusat dari alam semesta. Hubungan kami dengan alam bukanlah hubungan pemanfaatan, melainkan hubungan timbal balik yang sakral. Savazri & Wulandani (2021) menegaskan bahwa konsep "Hutan adalah Mama" menjadi landasan filosofis yang menganggap tanah, air, dan hutan sebagai harta tak ternilai. Kehidupan sehari-hari mereka, mulai dari sumber pangan, obat-obatan, hingga bahan bangunan, sepenuhnya bergantung pada kemurahan alam di sekitarnya.
Kemampuan membaca tanda-tanda alam, menghargai setiap elemen, dan merawat hutan adalah wujud dari kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun. Namun, kosmologi yang harmonis ini berhadapan dengan ancaman nyata. Laporan KLHK pada tahun 2021 menunjukkan adanya deforestasi yang mengila, belum termasuk pembalakan liar dan kebakaran. Dari perspektif masyarakat Papua, perusakan hutan ini bukan hanya perusakan lingkungan, melainkan sebuah serangan langsung terhadap "Mama" kami. Gangguan terhadap hutan dirasakan sebagai gangguan terhadap diri kami sendiri. Kondisi inilah yang melahirkan sebuah energi perlawanan. Muatan ini berupaya untuk menganalisis bagaimana relasi kosmologis antara masyarakat Papua dan hutan menjadi fondasi bagi perlawanan kami orang papua terhadap deforestasi yang terjadi secara berkelanjutan di seluruh teritorial tanah Papua.
Hutan sebagai Pusat Kehidupan Kosmologis. Relasi masyarakat Papua dengan hutan dapat diuraikan dalam tiga dimensi utama: (1) Dimensi Kehidupan (Provider): Hutan adalah penyedia utama kebutuhan fisik. Ia menyediakan karbohidrat (umbi-umbian, jagung, pisang), protein (hewan liar, ikan, serangga), vitamin (buah dan sayur), serta farmasi alami (tumbuhan obat). Hutan adalah supermarket, apotek, dan toko bangunan sekaligus. (2) Dimensi Identitas (Sanctuary): Hutan adalah ruang tempat identitas suku dan marga terbentuk. Batas-batas alam seperti sungai dan gunung menjadi penanda wilayah adat. Di dalam hutan terdapat tempat-tempat sakral untuk ritual dan upacara adat yang meneguhkan eksistensi kami.(3) Dimensi Spiritualitas (Protector): Hutan adalah benteng dan pelindung. Masyarakat percaya bahwa hutan dihuni oleh roh-roh leluhur dan penjaga alam. Merusak hutan berarti mengganggu keseimbangan spiritual yang dapat mendatangkan musibah.
Deforestasi sebagai Agresi terhadap "Mama". Dari perspektif kosmologis di atas, deforestasi dimaknai lebih dari sekadar hilangnya pohon. Secara Fisik, deforestasi merampas sumber kehidupan, menyebabkan kelaparan, dan memaksa masyarakat bergantung pada produk luar yang asing. Secara Spiritual, deru mesin gergaji dan alat berat dianggap melukai tubuh "Mama," mengusir roh-roh pelindung, dan memutus hubungan dengan leluhur.Ketika "Mama" kami diserang, respons alami yang muncul adalah perlawanan untuk melindunginya. Ini adalah reaksi logis dari sebuah pandangan dunia yang melihat diri kami sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan alam.
Energi Perlawanan: Membela Aset Generasi. Perlawanan yang lahir dari pengalaman penderitaan ini bukanlah tindakan sporadis, melainkan sebuah gerakan berkelanjutan. Bentuknya beragam, mulai dari: (1)Perlawanan Individual: Tindakan perorangan yang secara diam-diam atau terang-terangan menghalangi aktivitas perusak hutan. (2) Perlawanan Terorganisir: Masyarakat mengorganisir diri, melakukan pemalangan adat (blokade), protes, hingga menempuh jalur advokasi dengan bantuan LSM untuk mempertahankan hak ulayat kami.Motivasi utama perlawanan ini bukanlah uang atau kekuasaan, melainkan kelangsungan hidup (hayat hidup). Kami berjuang untuk aset generasi dan masa depan orang Papua, memastikan bahwa anak cucu kami masih bisa merasakan kemurahan dari "Mama" yang sama.
Perlawanan masyarakat adat Papua terhadap deforestasi adalah sebuah fenomena yang berakar kuat pada relasi kosmologis kami dengan hutan. Konsep "Hutan adalah Mama" bukan sekadar slogan, melainkan inti dari pandangan dunia yang menggerakkan tindakan sosial. Ketika hutan dirusak, masyarakat Papua tidak hanya kehilangan sumber daya, tetapi juga merasa identitas, spiritualitas, dan martabat kami dilukai.Oleh karena itu, setiap upaya untuk memahami dan menyelesaikan konflik lingkungan di Papua harus dimulai dengan mengakui dan menghormati pandangan dunia ini. Perlawanan kami bukanlah tindakan melawan pembangunan, melainkan sebuah seruan untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan yang harmoni.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI