Bayangkan ini, Anda adalah seorang pengusaha yang baru saja membuka toko di sebuah pasar tradisional. Semua tampak berjalan lancar sampai tiba-tiba sekelompok pria bertubuh kekar dengan tampang sangar mendatangi toko. Tanpa basa-basi, mereka mengatakan bahwa Anda perlu membayar "uang keamanan" jika ingin usaha kita tetap berjalan tanpa gangguan.Â
Skenario di atas bukanlah cerita fiksi. Ini merupakan realita yang masih kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Fenomena premanisme seperti ini bukan hanya meresahkan para pedagang kecil, tetapi juga menjadi hambatan serius bagi investasi dan pembangunan ekonomi secara lebih luas.
Wajah Premanisme di Indonesia
Premanisme di Indonesia hadir dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Dari preman pasar yang meminta "uang keamanan" dari pedagang kecil, hingga kelompok terorganisir yang mengendalikan proyek-proyek konstruksi besar. Praktik mereka beragam, mulai dari pemerasan, intimidasi, hingga tindakan kekerasan terhadap mereka yang menolak tunduk pada kemauan mereka.
"Dulu waktu pertama kali buka warung, tiap minggu ada yang datang minta uang. Kalau tidak kasih, besoknya dagangan saya diacak-acak," cerita seorang pedagang paruh baya di sebuah pasar tradisional di Jawa Tengah. Pengalaman tak mengenakkan ini jadi gambaran nyata bagaimana premanisme menggerogoti usaha kecil dan menengah.
Di kota-kota besar, premanisme hadir dalam bentuk yang lebih "sophisticated". Ada organisasi yang mengatasnamakan ormas atau serikat pekerja, padahal aktivitas utama mereka hanyalah mengambil bagian dari proyek-proyek pembangunan tanpa memberikan kontribusi yang setimpal. Praktik ini tidak hanya membebani biaya proyek, tetapi juga sering kali mengorbankan kualitas.
Premanisme adalah mimpi buruk bagi iklim investasi. Ketika investor harus memperhitungkan "biaya siluman" akibat premanisme, daya tarik untuk berinvestasi pun menurun drastis. Bayangkan sebuah perusahaan asing yang ingin membuka pabrik di Indonesia, tapi kemudian harus menghadapi tuntutan tidak resmi dari kelompok-kelompok preman lokal. Tak mengherankan jika pada akhirnya mereka memilih negara lain yang menawarkan lingkungan bisnis yang lebih aman dan predictable.
Data dari lembaga pemantau investasi mencatat bahwa beberapa daerah dengan tingkat premanisme tinggi mengalami penurunan investasi hingga 15-20% dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Angka yang sangat signifikan, mengingat investasi adalah salah satu motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja baru.
"Premanisme itu seperti pajak tambahan yang tidak masuk ke kas negara. Yang rugi bukan cuma pengusaha, tapi juga pekerja dan masyarakat secara keseluruhan.
Premanisme Meresahkan Masyarakat
Di luar dampak ekonominya, premanisme juga menciptakan ketidaknyamanan dan ketakutan di masyarakat. Keberadaan kelompok-kelompok preman yang kerap mempertontonkan kekuatan dan intimidasi membuat warga merasa tidak aman dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
"Anak-anak saya takut lewat jalan depan kompleks karena ada sekelompok pemuda yang suka nongkrong sambil minta uang dari pengendara," tutur seorang warga di pinggiran Jakarta. Situasi seperti ini menciptakan trauma psikologis dan mengurangi kualitas hidup masyarakat.