Mohon tunggu...
Evi Ghozaly
Evi Ghozaly Mohon Tunggu... Konsultan - | Penulis | Praktisi pendidikan | Konsultan pendidikan |

Tebarkan cinta pada sesama, melalui pendidikan atau dengan jalan apapun yang kita bisa.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Meramu Kurikulum

3 Juli 2019   09:13 Diperbarui: 3 Juli 2019   09:38 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gitu itu lho, saya masih butuh tambahan waktu lagi. Alhamdulillah dapat ijin untuk rutin diskusi khusus dengan beliau, terutama ketika saya akan manggung dengan audien baru atau hendak ngisi acara televisi. Alhamdulillah, sampai hari ini beliau selalu berkenan meluangkan waktu untuk saya merekam penjelasan beliau lewat tilpun. Maturnuwun nggih, Kang

Dari semua proses belajar itu saya jadi tahu kalau peluang meramu kurikulum sangat luas. Kurikulum keren itu tak harus dengan mewajibkan bahasa Inggris sebagai pengantar. Bisa saja dengan bahasa Arab dan dengan tetap mempertahankan bahasa daerah. Finlandia tak harus jadi kiblat, cambridge tak harus jadi pilihan.

::

Apakah yang begini hanya bisa diterapkan di sekolah kota dengan fasilitas bagus? Tentu tidak. Menurut saya justru semua sekolah harus punya kurikulum sendiri, meski tetap menerapkan kurikulum nasional. Wong target kurikulum nasional itu lho, kadang diajarkan tiga bulan selesai. Maka sekolah perlu pengayaan dengan muatan lain, sesuai kebutuhan.

Sekolah di pedesaan dengan listrik tak stabil misalnya, tak harus anak didiknya mengenal komputer sampai ndakik. Buat saja kurikulum pertanian yang menarik. Agar mereka tidak silau ke kota semua, tapi justru bercita-cita menjadi petani yang handal. Betapa banyak anak petani yang malu turun ke sawah kan? Nah, materi tentang pertanian ini yang harus diramu sedemikian rupa, masuk dalam kurikulum dan diajarkan dengan cara menyenangkan.

Pelajaran agama, kalau ngikuti pusat hanya dua jam perpekan. Tambah aja, dengan Al Quran, Hadist, Tauhid dan Akhlak. Fiqh dan Ushul Fiqh juga perlu lho. Agar anak tidak hanya tahu satu madzhab dan menyalahkan madzhab lain. Anak akan tahu bahwa menurut madzhab Syafii dan Hambali, anjing itu najis air liurnya, bulu dan semua bagian tubuhnya. Menurut madzhab Hanafi, anjing tidaklah najis kecuali air liur dan keringatnya. Tapi menurut madzhab Maliki, seluruh tubuh anjing tidak najis.

Nah lho, jika anak kita diajarkan begini tak perlu ribut kan jika menghadapi perbedaan. Alih-alih menghujat orang lain, justru anak kita akan terburu membuka buku untuk melalar cara menyucikan najis mugholadhah sambil terus berusaha menebar Islam yang ramah, bukan Islam yang marah.

Dalam banyak masalah khilafiyah termasuk memilih pemimpin (ssssst, pilpres) ternyata kurikulum bisa menghantarkan anak kita untuk memahami akar, masalah dan bagaimana bersikap lho. Jadi nggak kemrungsung, nggak gampang terpengaruh entah apa. Asyik kan ya?

::

Apakah dengan tambahan kurikulum seabreg itu jam belajar akan nambah? Tidak harus kok.

Untuk muatan khusus seperti tahfidz tahsin, tentu saja harus nambah jam ya. Etapi untuk yang lain, bisa diblandid lho. Bisa dimasukkan dalam pelajaran lain. Misal begini, di sekolah Global Madani ada Sembilan Aspek Kurikulum Unggulan (SAKU). Lengkapnya klik di www.globalmadani.sch.id sekalian saya promosi ya, disini saya tulis satu contoh saja. Saya ingin memberi contoh detail tiap pelajaran sebetulnya, tapi pasti akan dimarah pembaca. Kepanjangan kan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun