Adat sendinya Syariah, Syariah sendinya Kitab Allah (Al-Quran).
Luar biasa memang urang awak menyampaikan alur pikirnya dalam hidup berkehidupan. Baik kehidupan antar sesama manusia (hablum minannas) maupun manusia dengan tuhannya (habblum minallah). Bisa dikatakan orang minangkabau bila ditanyakan agamanya apa maka mereka dipastikan Islam. Sekian banyak cerdik pandai, alim ulama hadir karena tempaan alam minangkabau. Walau pekerjaannya preman (parewa) sekalipun, tapi bila ada kerabat atau orang kampung wafat, sang parewa pun mampu melafalkan doa ghaib atau malah menjadi imam bila tidak ada lagi pria dewasa yang lebih pantas.
Setiap hari Kultum di mushalla kami dilaksanakan ba'da dzuhur. Ustad yang mengisinya juga cuma dua orang. Tapi tak henti-hentinya kedua ustad saling menyerang mengenai pemahaman agamanya masing-masing. Topik yang paling hangat dan selalu berujung "Bid'ah" jadi kalimat pamungkas Ustad A. Tapi tak kalah semangatnya Ustad B: bila begitu kita jangan pakai pengeras suara (TOA Masjid) karena mengganggu istrahat warga baik muslim maupun non muslim, karena TOA tidak dicontohkan oleh nabi begitu pembelaannya.
Lalu suatu malam, tetangga kami kehilangan ibundanya tercinta. Umur sudah 80 tahun, sudah sangat direlakan oleh ketiga anak-anaknya. Ayahanda mereka sudah mendahului 15 tahun yang lalu. Cucu mereka pun sudah bererot. Tapi kami para tetangga sangat salut dengan anaknya ini. Anak-anak almarhumah sangat berpegang teguh pada adat istiadat. Kerbau dan semua kesiapan resepsi adat untuk menghantar handai taulan yang meninggal sudah disiapkan. Anda boleh tercengang kalau angka 50 juta paling minim dipersiapkan oleh sahibul bait demi kelancaran upacara adat pemakaman ibunda tersebut. Doa-doa disampaikan oleh seluruh pemangku adat beserta masyarakat komunitas adat daerah tersebut (gak usah disebutlah adat mana-biar tidak dicap SARU). Ustad A kembali berpendapat: Doa yang didengar Allah hanya dari Anak yang Soleh. Orang sekampung hanya mengantar mayat hingga liang lahat dengan sebelumnya "Memandikan" dan "Mengkafani".
Ketika sudah mulai reda dan suasana berkabung sudah menguap, naluri pengen tahu saya muncul. Apa yang terjadi bila keluarga sahibul bait tidak melaksanakan prosesi adat? jawabannya singkat, jelas dan padat: kami dikucilkan pak dari orang-orang kampung ...
Suatu siang, boss saya menanyakan eksklusifitas masyarakat Minangkabau yang dirantau kalau mencari jodoh harus orang sekampung. Dengan becanda saya tanggapi: kalau menikahi orang sekampung saya gak sanggup pak, satu orang aja belum abis sampai sekarang bossss.....
Bukannya kamu disuruh orang tua harus kawin sesama urang awak?, kejar si boss. Bukan pak, bukan disuruh, Namun orang Minangkabau "DISARANKAN" untuk mencari jodoh sesama orang minang. Lho kok mau? tanya si Bos lagi. 'Gak harus kok pak boss, ada benarnya juga saran tetua kami itu'. Biar kami ingat pulang kampung. Coba bapak ke Kampung saya, banyak rumah besar-besar namun kosong. Karena anak-anaknya sudah jarang pulang kampung....hmmmmmm
Adat dan Hukum islam di Minangkabau
Kalau ada komunitas masyarakat yang menarik garis keturunan dari nama ibu, maka di Indonesia: hanya masyarakat Minangkabau satu-satunya. Ada bangsa Indian dan beberapa kekerabatan di dunia juga menganut Matrilineal ini. Tapi yang menarik, dimana masyarakatnya muslim dan mayoritas, Minangkabau tidak bulat-bulat menerima hukum islam sebagai basis sistem kekerabatannya (dimana kental patrilinealnya).
Lha kok, bisa-bisanya urang awak mengadopsi Syariah sebagai sendi dan Kitabullah (dalam adat)?. Sebagian dari masyarakat minangkabau memang masih berpegang teguh pada nilai-nilai kekerabatan yang telah lama dianutnya. Dan beberapa adat memang selalu jadi bulan-bulanan syariah dalam debat dan argumentasinya.
Saya tidak ingin terjebak dalam Bid'ah, Adat, Syariah, maupun Kitabullah sesuai judul tulisan ini. Yang menjadi pusat perhatian saya adalah: kita urang minang, orang ambon, orang batak, jawa, madura, dan ratusan etnis suku lainnya di Indonesia, kita perlu konsensus baru.
Pemahaman (saya) penulis akan adat: Seorang yang beradat adalah suatu tes dari komunitasnya untuk dapat dikatakan sebagai manusia hablumminannas. Dia akan dianggap, diberi label dan diberi status oleh komunitasnya atas kemampuannya melaksanakan adat dan tradisi kekerabatannya.