Mohon tunggu...
Eva Setiya
Eva Setiya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurnalistik Akademi Televisi Indonesia

Bagi saya, menulis tidak hanya sebagai media penyampaian informasi. Tapi terkadang, ia juga bisa menjadi obat bagi diri sendiri. Karena semua beban yang ada di pikiran bisa dituangkan dengan sebuah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Beauty Pilihan

Kupas Fenomena Berburu Pakaian Bekas

23 Oktober 2021   21:39 Diperbarui: 25 Oktober 2021   22:28 3415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pusat perbelanjaan baju bekas di Pasar Senen Blok III, Jakarta Pusat (Foto : Eva Setiya)

KOMPASIANA - Aktivitas berburu barang bekas semakin populer dalam beberapa tahun terakhir. Pakaian impor menawarkan harga murah, kualitas yang bagus, serta membantu mengurangi limbah tekstil. Namun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan di balik fenomena yang digandrungi anak muda saat ini.  

Sejarah Awal Penjualan Barang Bekas

Tren berburu barang bekas kini lebih dikenal dengan sebutan thrifting. Istilah ini berasal dari kata thrift yang berarti penghematan. Jika kita lihat sejarahnya, jual beli barang bekas tidak hanya terjadi pada 1-2 tahun terakhir ini saja.

Melansir dari ussfeed.com, aktivitas ini dimulai sejak abad ke-18. Pada saat itu, revolusi industri pakaian memungkinkan untuk diproduksi secara massal. Masyarakat menganggap bahwa pakaian hanya cukup satu kali pakai langsung buang (disposable). Dampaknya, mereka menjadi konsumtif dan limbah tekstil meningkat.  

The Salvation Army/Bala Keselamatan di Amerika (Foto : ussfeed.com)
The Salvation Army/Bala Keselamatan di Amerika (Foto : ussfeed.com)

Pada tahun 1987, The Salvation Army mendirikan sebuah shelter yang bernama “Salvage Brigade”. Tempat ini berfungsi sebagai sarana penampungan pakaian bekas. Masyarakat yang merasa kelebihan pakaian, bisa mendonasikannya di sana. Sebaliknya, warga kurang mampu biasanya meminta pakaian di shelter tersebut.

Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika pada tahun 1920, juga berdampak pada awal perkembangan budaya thrifting. Banyak orang yang kehilangan pekerjaan, hingga tidak mampu membeli pakaian baru. Mereka memilih belanja baju bekas di thrift store sebagai alternatifnya.

Tahun 90-an menjadi awal masyarakat menjadikan pakaian bekas menjadi tren fesyen. Seorang vokalis band Grunge, Kurt Cobain mengombinasikan ripped jeans, kemeja flanel dan sering memakai baju secara bertumpuk. Pakaian tersebut merupakan hasil thrifting. Karena itulah, para pengikut vokalis tersebut menjiplak gaya berpakaian sang idola.

Perkembangan Jual Beli Baju Bekas Indonesia

Awalnya, usaha pakaian baju bekas berkembang di wilayah pesisir laut yang berbatasan dengan negara tetangga. Pulau Batam, Sumatera, Sulawesi hingga Kalimantan menjadi pintu masuk pakaian bekas dari luar negeri. Namun kini, jual beli transaksi pakaian impor mulai menyebar di Pulau Jawa. 

Stok pakaian bekas untuk anak-anak di Pasar Senen, Jakarta Pusat (Foto : Eva Setiya)
Stok pakaian bekas untuk anak-anak di Pasar Senen, Jakarta Pusat (Foto : Eva Setiya)

Masyarakat di berbagai daerah mempunyai tempat khusus untuk mencari pakaian sisa pakai. Warga Jakarta misalnya, masih menjadikan Pasar Senen Blok III sebagai surga untuk berbelanja barang bekas. Disana tersedia beberapa kebutuhan fesyen mulai dari sepatu, celana, rok, gaun, baju, tas, pakaian anak, bahkan pakaian dalam bekas pun di jual. 

Pengunjung di Pasar Senen tidak hanya berbelanja untuk kebutuhan sendiri, tapi banyak juga yang mencari barang untuk dipasarkan kembali. Selain karena stoknya yang lengkap, pasar ini juga terkenal dengan harga yang di bawah rata-rata. Segala jenis pakaian bekas bisa didapatkan dengan harga mulai dari Rp. 5000,- saja. 

Lain halnya dengan warga Bandung, yang menggunakan istilah “cimol” untuk berburu pakaian bekas. Mereka memiliki pusat terlengkap di Pasar Gedebage, yang terletak di Jalan Soekarno-Hatta, Kecamatan Rancasari. Pasar ini tersohor karena menyediakan barang bermerk dengan harga miring.

Aktivitas berburu baju bekas di Pasar Sekaten, Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta. (Foto : hendrawardhana.com)
Aktivitas berburu baju bekas di Pasar Sekaten, Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta. (Foto : hendrawardhana.com)

Berbeda lagi dengan masyarakat Yogyakarta, yang menyebut  thrifting dengan istilah “awul-awul”.  Biasanya, awul-awul identik dengan Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) yang diadakan satu tahun sekali. Pada momen inilah, warga berebut barang bagus dengan harga murah. 

Tren transaksi baju bekas tak sampai di situ saja. Akhir-akhir ini, banyak penjual yang sengaja membuka gerai khusus pakaian second hand di rumahnya.  Ada juga yang sampai sewa ruko demi meraup untung dari bisnis ini. Baju di tempat-tempat tersebut biasanya di tata serapih mungkin layaknya pakaian baru.

Uniknya, pedagang di Indonesia lebih suka menggunakan istilah baju impor dibanding baju bekas. Tujuannya agar kesan kumuh tak tersemat di toko mereka. Selain itu, agar pembeli tak perlu malu jika berbelanja di sana.

Kini, kita sudah sampai pada titik di mana belanja pakaian bekas tak harus selalu terjun ke pasar. Toko baju tangan kedua kini sudah merambah ke Instagram, Facebook, dan media sosial lainnya. Bahkan, pakaian yang dijual di thrift shop biasanya sudah bersih, rapi dan wangi.

 

Faktor Eksistensi Pakaian Impor

Selain karena ramah lingkungan, ada beberapa faktor yang membuat fenomena ini semakin eksis di seluruh lapisan masyarakat. Dari segi bisnis, keuntungan penjualan baju bekas cukup menjanjikan. “Saya mendapat omzet 100 juta per bulan,” ujar Anwar, salah satu penjual baju bekas di Pasar Senen.

Munculnya tren thrift online shop membuat perkembangan bisnis ini semakin besar dalam mempengaruhi kaum milenial. Jika berkunjung dengan tagar #thriftshop di Instagram, maka kita akan menemukan lebih dari 6,2 juta kiriman. Pelaku bisnisnya pun mulai dari remaja yang masih sekolah, hingga kalangan atas.

 

Salah satu selebgram membagikan hobi berburu pakaian bekas (Foto : Instagram.com/sarahazka)
Salah satu selebgram membagikan hobi berburu pakaian bekas (Foto : Instagram.com/sarahazka)

Artis dan influencer juga menyumbang peran dalam perkembangan dunia thrifting di Indonesia. Beberapa orang yang berpengaruh di dunia fesyen seperti Sarah Azka, Ana Octarina dan Claradevi ‘Lucedale’ mengaku suka berburu baju bekas. Tidak menutup kemungkinan, penggemarnya juga mengikuti hobi ini. 

Faktor selanjutnya yang menjadi kunci adalah dari konsumen itu sendiri. Mereka menyukai belanja baju bekas karena bisa mendapatkan barang bagus dengan harga yang lebih murah. “Lebih baik pakaian bekas tapi asli, daripada pakaian baru tapi tiruan alias KW,” ujar Ana, salah satu konsumen baju impor.

Banyaknya inspirasi gaya berpakaian saat ini juga menjadi alasan kuat konsumen rela terjun ke pasar loak. Ini merupakan solusi bagi orang-orang yang mau mengikuti tren, tapi tidak punya uang yang cukup. Karena menurut mereka, bergaya tak perlu dengan biaya mahal.

Jika banyak pembeli yang memilih barang second karena murah, namun tren selama 1-2 tahun ini justru berkebalikan. Penjualan kaos vintage yang unik dan langka sempat viral akhir-akhir ini. Semakin tua umur baju tersebut, maka akan semakin mahal harganya.

Ternyata, konsumen pun tetap rela merogoh kocek demi baju kuno tersebut. Karena, dinilai mempunyai sejarah di dalamnya. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa thrifting memang sudah menjamur, terlepas dari alasan ekonomi dan lingkungan.

Pakaian Bekas dari Segi Hukum dan Kesehatan

Meski permintaan masyarakat akan pakaian bekas sangat tinggi, namun sebenarnya bisnis ini melanggar undang-undang. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 51/MDAG/PER/7/2015. Peraturan tersebut berisi larangan impor pakaian bekas karena alasan kesehatan.

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Perdagangan, menyita ratusan karung pakaian bekas di Bandung (Foto : Jayantara News)
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Perdagangan, menyita ratusan karung pakaian bekas di Bandung (Foto : Jayantara News)

Hukum di Indonesia mengatakan, segala pakaian bekas yang tiba di Indonesia wajib dimusnahkan. Namun, pelaku bisnis mengaku tidak kaget dengan aturan ini. "Saya sudah berjualan 15 tahun dan tidak ada masalah apa-apa,” ujar Dewi, salah satu pedagang di Pasar Ngasem kepada viva.co.id.

Kementrian perdagangan mengambil sampel 25 baju dan celana bekas impor dari Pasar Senen, Jakarta Pusat. Mereka menguji pakaian tersebut di sebuah laboratorium. Hasilnya, sebanyak 216.000 koloni bakteri per gram ditemukan dalam celana impor bekas.

Dokter spesialis kulit pun setuju, bahwa pakaian bekas mudah menularkan jamur. "Lewat pakaian bekas yang tidak higienis bisa membawa bibit penyakit berupa kuman, bakteri hingga kutu. Biasanya penyakit jamuran, kutu badan, hingga kutu kelamin," ujar dr. Dendi Sandiono, SpKK dari Rumah Sakit Umum Pemerintah (RSUP) Hasan Sadikin Bandung.

Tips Belanja Baju Bekas

Di balik polemik jual beli baju bekas, aktivitas ini tetap digemari oleh pelanggan setianya.  Berikut tips yang bisa Anda coba, ketika terpaksa harus membeli baju di pasar loak :

  • Selalu pakai masker dan sarung tangan jika perlu, untuk menghindari kontak langsung dengan bakteri.
  • Jangan mencoba pakaian yang masih kotor.
  • Sabar dan teliti saat belanja, agar mendapat barang yang bagus sesuai keinginan.
  • Rendam dalam air panas yang ditambahkan cairan disinfektan.
  • Jemur di bawah sinar matahari yang terik.
  • Setrika dengan suhu yang panas.

Meski beberapa hal bisa kita lakukan untuk menimimalisir kuman, tapi bukan berarti bisa bebas membeli pakaian bekas. Kita hanya perlu waspada, karena kesehatan adalah hal yang paling utama.

(Tugas Artikel Kurasi, Mata Kuliah Jurnalistik Multimedia)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun