Mohon tunggu...
Eva rosdiana
Eva rosdiana Mohon Tunggu... Penulis - E.R

Belajar Mencintai Dan Menghargai Diri Sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

My Life Without You

20 November 2023   23:34 Diperbarui: 20 November 2023   23:36 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setalah kepergiannya tak ada lagi canda dan tawa, dia meninggalkan aku disaat aku merasakan bahwa kebahagiaan itu memang nyata. Terlahir ditengah-tengah keluarga yang sangat bahagia adalah impian semua orang, akan tetapi jika takdir berkata lain apa yang bisa kita lakukan? Mungkinkah menolak takdir tuhan? Sudah pasti itu tidak mungkin terjadi.

Namaku Reiva Berlina putri aku adalah mahasiswi di salah satu universitas swasta di tangerang. Bulan ini aku mulai memasuki awal semester tiga, tidak terasa waktu berlalu begitu cepat sampai aku tak sadar bahwa aku telah melupakan rasa sakit yang pernah hadir dalam hidupku secara perlahan.

September 2010 adalah awal dari kehancuran hidupku. Aku ingat bagaimana perceraian merusak semuanya, merusak kebahagiaan yang telah aku miliki selama ini. Saat itu aku masih duduk di kelas enam Sekolah Dasar, tak cukup bagiku untuk  mengerti dengan apa yang terjadi yang aku tau semuanya berubah tak ada lagi canda dan tawa yang setiap hari ku dengar. Hanya suara pertengkaran mamah dan papah yang terdengar jelas di telingaku. Malam itu "prakkk" suara pecahan piring terdengar begitu keras dari ruang tamu, saat aku hendak keluar dari kamarku terdengar ada suara yang mengurungkan niatku untuk keluar dari kamar, " selama ini aku hanya bisa diam dan sabar melihat tingkah laku mu mas" ucap mamah. " maksud kamu apa hah" ucap papah dengan suara tingginya. " kamu main judi sampai tak ingat pulang aku  masih maafin mas, kamu ngambil uang tabungan aku pun aku maafin mas, tapi kalau kamu ada main sama wanita lain aku gak terima mas" ucap mamah bersamaan dengan suara tangis yang terdengar begitu menyakitkan. " selama ini aku berusaha mempertahankan rumah tangga kita mas, karena aku tak mau reiva menjadi korban dari semua ini, demi reiva mas aku mampu bertahan seharusnya kamu juga bisa mengerti akan hal itu mas, tapi kenyataannya kamu malah gak perduli sama sekali padaku dan reiva" ucap mamah. " Terus kamu mau minta pisah sama aku gitu hah! baik kalau itu mau mu akan aku urus perceraian kita, kamu gak usah atur-atur hidupku lagi dan masalah hak asuh aku akan menyerahkan reiva sama kamu" ucap papah di susul dengan suara pintu yang di banting begitu keras.

Aku hanya bisa menangis di dalam kamarku mendengar pertengkaran itu, aku tak tau harus berbuat apa hanya menahan rasa sakit dan kesedihan yang aku rasakan. Aku benci sama semua ini mengapa harus aku yang merasakan kehancuran akibat perceraian mengapa harus aku yang menderita mengapa tuhan tidak adil padaku fikiranku melayang entah kemana sampai aku terlelap dalam mimpi yang panjang.

Keesokan harinya " Tok..Tok..Tok.." suara ketukan pintu yang terdengar begitu nyaring di telingaku membangunkan ku dari mimpi buruk yang menghantuiku. Segera ku langkahkan kaki menuju pintu dan membukanya ku lihat mamah yang berdiri tepat di depan pintu dengan mata sembabnya. "Anak mamah ko baru bangun sih jam segini, itu loh mamah sudah buatkan sarapan untuk reiva ayo kita sarapan dulu." ucap mamah sambil tersenyum padaku.

Aku tau mamah menyembunyikan rasa sakit itu dibalik senyumannya, rasanya aku tak tega melihat mamah harus berpura-pura bahagia didepanku.

" emmm mamah duluan aja deh nanti reiva nyusul." ucapku yang dijawab dengan anggukan dari mamah. Setelah mamah pergi aku masuk kembali kedalam kamarku sejenak aku berfikir akankah aku mampu menghadapi ini semua melihat mamah menderita karna papah yang meninggalkan kita hanya karena perempuan gatel itu setelah cukup lama aku terbawa oleh bayang-bayang yang membuat kepalaku pusing akupun bergegas keluar kamar dan menemui mamah di meja makan. " mamah masak apa?." ucapku sambil menarik bangku di samping mamah "mamah masak nasi goreng spesial buat anak kesayangan mamah" ucap mamah sambil memberiku sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi. " papah gak ikut sarapan sama kita mah?" tanyaku yang membuat raut wajah mamah berubah "Emm ada yang mau mamah omongin sama reiva tapi mamah harap reiva bisa menerima ini semua" ucap mamah " reiva kan sebentar lagi lulus SD tandanya reiva sudah besar jadi mamah harap reiva mengerti akan apa yang mamah sampaikan" lanjut mamah " mamah sama papah mungkin sudah tidak bisa bersama lagi, tapi mamah janji walaupun mamah sama papah sudah pisah mamah janji akan menjadi mamah terbaik buat reiva" air mataku jatuh begitu saja bersamaan dengan rasa sakit yang kian mendalam. " maafin mamah ya sayang." ucap mamah sambil membawaku kedalam pelukannya " mamah gak perlu minta maaf sama reiva jika memang ini yang terbaik buat kita reiva pasti akan menerimanya." hari itu menjadi awal kehidupan baru bagiku dan mamah tanpa adanya sosok papah.

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat kini aku sudah menjadi seorang santri di salah satu pondok pesantren di daerah bogor, ya setelah kejadian itu aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah ku di pondok pesantren. Saat ini aku duduk di bangku kelas dua tsanawiyah sudah dua tahun rupanya aku tinggal di sini meninggalkan mamah yang selalu aku rindukan mamah yang selalu mendukung aku atas apa yang telah menjadi pilihan dalam hidup ku, teringat akan kata mamah saat pertama kali mengantarkan aku untuk menimba ilmu di pondok tercinta ini. " belajar yang rajin ya sayang jangan nakal di sini biar nanti kamu jadi anak yang sholehah buat mamah." ucap mamah dengan senyuman tulusnya. Hari-hariku kini jauh lebih baik dari sebelumnya aku banyak belajar ilmu agama disini belajar caranya untuk ikhlas untuk apa yang telah aku lalui dalam hidupku bersyukur atas apa yang aku jalani sekarang ini dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Hari minggu adalah hari yang paling di tunggu-tunggu oleh semua santri di pondok ini. Karena pada hari ini lah semua rasa rindu yang mereka tahan selama berminggu-minggu akan terhapuskan begitupun dengan aku sudah lama rasanya tak melihat wajah mamah membuatku menahan rindu yang amat dalam. sebelum hari minggu tiba mamah telah memberitahu ku bahwa mamah akan datang menjenguk ku lewat pesan yang di dikirimkan mamah pada ustadzah Fauziah selaku wali kelasku di pondok. aku beruntung memiliki wali kelas seperti ustadzah Fauziah beliau sangat ramah dan baik sekali terhadapku juga teman-temanku.

" Reiva ada yang nyariin kamu tuh dia menunggu mu di depan kantor." ucap salah satu teman sekamarku. " oh iya terimakasih sudah diberi tau." akupun bergegas melangkahkan kakiku menuju kantor untuk menemui seseorang yang telah menungguku mungkin itu mamah karna hari ini mamah janji akan menjenguk ku di pondok. Sesampainya di depan kantor aku tak menemukan sosok mamah hanya ada seorang laki-laki yang tak bisa ku lihat jelas wajahnya karna dia berdiri membelakangi ku. Saat aku hendak meninggalkan kantor tiba-tiba saja. " Reiva" suara yang sangat aku kenal membuatku menghentikan langkah ku sudah lama rasanya tidak mendengar suara itu akupun berbalik dan menemukan sosok yang tak pernah aku harapkan muncul di hadapanku lagi.

" anak papah sekarang sudah besar ya." ucapnya sambil berjalan mendekatiku. Rasanya aku ingin lari begitu saja namun kakiku tak sanggup untuk melakukan itu. " anak papah apa kabar?." tanyanya sambil membawaku ke dalam pelukkannya. Tidak ada kata bahagia saat bertemu kembali dengannya dia adalah sosok yang tak pernah aku harapkan kehadirannya kembali dalam hidupku cukup lama untuk aku mengikhlaskan rasa sakit yang pernah hadir dalam hidupku rasa sakit yang dia berikan kepadaku dan juga mamah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun