Mohon tunggu...
Eva Nurmala
Eva Nurmala Mohon Tunggu... Administrasi - karyawan swasta

Saya karyawan swasta yang gemar menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melawan Intoleransi di Media Sosial

14 November 2019   00:15 Diperbarui: 14 November 2019   00:13 2443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media sosial berbasis internet sudah merasuk ke kehidupan masyarakat Indonesia. Orang-orang di kota, dan tak sedikit pula yang di pedesaan, sudah akrab dengan berbagai platform media sosial. Misalnya, facebook dan twitter. Mereka juga sudah dekat dengan aneka website atau portal berita. Pun demikian, dengan beragam aplikasi chatting atau obrolan semacam WhatsApp, Line, maupun Telegram.

Media sosial sudah menjadi wadah berinteraksi, melakukan komunikasi dua arah. Juga, sebagai bukti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang luar biasa pesat. Media sosial menjadi sarana bertukar sekaligus  penyebarkan informasi. Apalagi, terdapat fitur "suka", "berbagi", "comment", "tweet ulang", "tempel ulang", serta semacamnya, yang makin membuat media sosial ramah pengguna.

Media sosial bisa dipakai untuk menyebarkan kebaikan. Namun, layaknya pisau bermata dua. Piranti ini juga dapat menjadi sarana menebarkan ujaran kebencian, berita bohong, fitnah, dan kabar negatif lainnya. Tak terkecuali, berpotensi membagikan konten-konten intoleransi.

Konten intoleransi ini wujudnya beraneka rupa. Prinsipnya, diawali dengan suara-suara yang fokus memeruncing perbedaan. Padahal, negeri ini adalah tanah majemuk. Sehingga, tidak mungkin semua orang punya latar belakang yang seragam.

Perbedaan yang dipertentangkan itu bisa berbentuk perbedaan suku, agama, ras, dan golongan. Bahkan, ada yang sama agama, tapi beda ormas pun, bakal dipermasalahkan oleh agen-agen intoleransi ini.

Mereka gemar menebar berita buruk yang berujung pada polarisasi. Kesalahpahaman antar sesama yang masih dalam batas kewajaran, malah diberi bara dan dikipasi. Sehingga tampak seakan kondisi gawat dan ada pihak-pihak yang tertindas.

Kelakukan seperti ini, yang berawal dari penyebaran pesan buruk dengan ruh intoleransi di media sosial, bukan tidak mungkin melahirkan tindakan-tindakan negatif di dunia nyata. Media sosial di era kekinian memiliki kekuatan kongkret. Bila melihat sejarah, beberapa gerakan politik di sejumlah negara pada jazirah Arab, juga dimulai dari ketikan-ketikan di media sosial.

Bertolak dari kondisi ini, masyarakat mesti cerdas dalam bermedia sosial. Jangan sampai terpancing dengan pesan tendensius. Jangan termakan konten beraroma provokatif intoleransi. Semua pihak mesti saling mengingatkan untuk dapat berinteraksi secara sehat di media sosial.

Segaris dengan itu, lawanlah berita bohong, ujaran kebencian, dan konten intoleransi dengan unggahan-unggahan positif. Bisa dengan konten tentang betapa baiknya kebersamaan. Tentang kedamaian yang sudah mendarah daging dan tak boleh ternoda karena ulah para oprtunis. Dan tentang hal-hal lain yang bermanfaat.

Di sisi lain, jangan hiraukan konten buruk tersebut, kecuali dengan konten yang baik dan sopan. Jangan malah tergerak untuk debat kusir dan jadi emosional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun