Bali, yang dikenal sebagai “Pulau Dewata,” sering digambarkan sebagai surga tropis dengan keindahan alam, budaya yang kaya, dan spiritualitas yang mendalam. Namun, di balik citra memesona itu, Bali juga menghadapi tantangan serius, salah satunya adalah banjir. Banjir bandang dan longsor membuat Bali luluh lantak sejak Rabu (10/09/25). Faktor alam dan manusia menjadi penyebab bencana yang menelan banyak korban.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut, pemicu banjir dan longsor ini berupa intensitas hujan di atas normal, kondisi hidrologis sungai, hingga topografi perbukitan dan pasang laut yang memperlambat aliran air. Sementara, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencatat ada anomali cuaca.
Terlihat dari pergerakan awan hujan Samudera Hindia yang terdorong angin baratan menuju Pulau Dewata. Dalam waktu singkat, curah hujan meningkat tajam dan melebihi ambang normal harian.
Fenomena Madden Julian Oscillation (MJO) dalam fase 3 (Indian Ocean) juga berkontribusi terhadap proses pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia Bagian barat. Bahkan, BMKG memprediksi kondisi ini secara spasial aktif melewati sebagian wilayah Indonesia, termasuk Bali, hingga tanggal 12-17 September.
Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali-Penida, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum menyebut, curah hujan merata di Bali dengan intensitas tinggi sebesar 245,5 mm/hari dengan durasi yang lama pada Senin (8/9/25) hingga Selasa (9/9/25), menyebabkan meningkatnya aliran debit banjir sungai 85,85 m³/detik. Dengan intensitas hujan tinggi, beberapa tukad (sungai) di Bali tak bisa menampung air.
Akademisi, Organisasi Lingkungan, hingga Menteri Lingkungan Hidup (LH) melihat banjir di Bali bukan semata karena intensitas hujan tinggi. Ada faktor eksternal yang manusia sebabkan sendiri. Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup menyebut, salah satunya karena produksi sampah parah di Bali. Berdasarkan data Pemerintah Bali, timbulan sampah pada 2024 mencapai 1.254.235,02 ton. Dari jumlah itu, timbulan terbanyak di Kota Denpasar 366.806,75 ton. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, 1.229.234,65 ton. “Ini mungkin sampah tinggalan lama itu lho,” katanya.Menurut dia, sampah-sampah menyumbat sungai hingga ketika hujan dengan intensitas tinggi mengguyur, terjadilah banjir.
Frekuensi dan intensitas banjir yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir telah memicu pertanyaan mendalam: apakah keseimbangan spiritual, sosial, dan ekologis yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali mulai terganggu?
Untuk memahami fenomena ini, kita dapat merujuk pada filosofi hidup masyarakat Bali, yaitu Tri Hita Karana. Filosofi ini mengajarkan tiga hubungan harmonis yang harus dijaga: hubungan dengan Tuhan (Parhyangan), hubungan antarmanusia (Pawongan), dan hubungan dengan alam (Palemahan). Banjir bukan hanya sekadar bencana alam, melainkan sebuah cerminan nyata dari ketidakseimbangan pada salah satu atau bahkan ketiga aspek ini.
1. Parhyangan: Hubungan dengan Tuhan dan Makna Spiritual Banjir
Dalam ajaran Hindu Dharma di Bali, Parhyangan adalah hubungan harmonis antara manusia dengan Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan). Ketaatan pada ajaran agama, pelaksanaan upacara, dan penghormatan terhadap alam semesta adalah bagian dari hubungan ini. Dari perspektif spiritual, banjir dapat dilihat sebagai sebuah teguran atau peringatan dari alam. Banjir mengingatkan manusia bahwa mereka bukanlah penguasa mutlak, melainkan bagian dari siklus kosmik yang lebih besar.
Ketika manusia terlalu fokus pada pembangunan dan konsumsi material tanpa memikirkan kelestarian alam, mereka melupakan hubungan spiritual mereka. Pembangunan yang tidak terkendali, seperti alih fungsi lahan hijau menjadi hotel atau vila, sering kali mengabaikan sistem drainase alami. Ini dapat diartikan sebagai ketidakharmonisan dalam hubungan Parhyangan, di mana manusia telah mengabaikan tanggung jawab suci untuk menjaga alam ciptaan-Nya. Ritual-ritual seperti upacara bhuta yadnya yang bertujuan menyeimbangkan alam dan entitas negatif di dalamnya, menjadi semakin relevan. Banjir mengingatkan masyarakat untuk kembali merenungkan makna spiritual dari keberadaan mereka di Bumi.