Awalnya kita tidak saling akrab, karena kita bekerja di perusahaan yang berbeda tapi masih di gedung kantor yang sama. Aku pun lupa kapan akhirnya kita menjadi akrab. Yang aku ingat di sela-sela jam kerja dan pekerjaan ku pun sudah selesai, aku bergegas menemui Dian di ruang kerjanya.Â
Dian kupaksa untuk mendengarkan curahan hatiku. Sambil jari-jarinya terus menekan keyboard dan matanya yang berkacamata itu menatap ke layar monitor, dia tetap mendengarkan ocehan-ocehanku. Atau sesekali dia menghentikan pekerjaannya dan memberikan tanggapan atas curahan hatiku.Â
Nah, itu yang aku tunggu, bagai seorang Psikolog dengan bijak dia menanggapi setiap masalah yang kuutarakan, komentar, solusi dan masukkan dari Dian cukup membantu menenangkan pikiranku yang sedang bingung. Banyak hal yang kuutarkan padanya, mulai dari tentang suasana kerja, suasana rumah sampai dengan suasana keuanganku.Â
Tidak jarang aku pun meminjam sedikit uangnya, kata-katanya yang selalu kuingat dan tak kulupa "Mba udah saya transfer ya", senangnya aku mendapat bantuan dari dia. Pernah ketika aku dan suami sedang makan malam, aku berkata "Ayah kalau nanti kita jadi orang kaya, jangan lupa sama Dian", suamiku menjawab "pastilah". Terima kasih Dian.
