Mohon tunggu...
Eudocia Adriani
Eudocia Adriani Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

WN Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kelompok Belajar "Sekolah Kami", 'Sekolah' Anak-anak Pemulung di Kampung Pemulung

29 Februari 2012   04:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:46 1197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Ibu juga dulu rumahnya di tengah-tengah sawah. Namun ibu bisa buktikan bahwa kalau kita mau, kita yakin, kita bekerja keras, kita bisa jadi apapun yang kita mau.” Itulah pesan Sandrina Malakiano kepada anak-anak yang belajar di Sekolah Kami, sebuah kelompok belajar bagi anak-anak pemulung yang kami kunjungi, Kamis, 23 Februari 2012. Pesan Sandrina tersebut seperti menanggapi cerita para pendidik di Sekolah Kami yang merasa prihatin ketika ada di antara anak-anak didik mereka yang baru lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP), bahkan ada yang baru lulus Sekolah Dasar (SD), diminta untuk menikah oleh orangtuanya demi meringankan beban keluarga. “Rasanya seperti ‘kegagalan terbesar’ kami,” ungkap Andy, Ririn dan Tatiyana, para pendidik "Sekolah Kami", saat anak didik mereka (terutama perempuan) akhirnya menuruti kemauan orangtuanya untuk menikah. Yang juga patut disayangkan, banyak orang tua mereka yang seringkali tidak sabar untuk menunggu hasil. Merasa sudah cukup kalau sudah lulus SD, anak-anak dijadikan pembantu rumah tangga. Didirikan oleh Irina Amongpradja, Sekolah Kami awalnya adalah ‘sekolah’ untuk anak-anak transmigran yang mengalami kegagalan di daerah transmigrasi. Seiring perjalanan waktu, ikut bergabung anak-anak yang tidak mampu bersekolah di sekolah formal, di antaranya adalah anak pedagang keliling, anak tukang ojeg, anak pekerja rumah tangga, dan yang terbanyak adalah anak pemulung. [caption id="attachment_174153" align="aligncenter" width="384" caption="Irina Amongpradja, Pendiri Sekolah Kami (foto oleh: Sandrina Malakiano)"]

1330487384535076782
1330487384535076782
[/caption] Waktu belajar anak-anak Sekolah Kami hanyalah empat jam per hari, dari jam 8 hingga jam 12. Setelah itu, anak-anak tersebut harus membantu orangtua mereka memulung. Selain diberikan materi pelajaran setara SD, berbagai keterampilan juga diajarkan seperti membuat sabun, membuat kertas, menjahit, bercocok tanam, bermain musik, dan membuat berbagai kerajinan dari barang-barang bekas. Lalu, dari manakah dana untuk mengelola ’sekolah’ dengan 150 anak didik ini? “Dari dana pribadi maupun sumbangan dari pihak lain, umumnya berbasis pertemanan,” jawab Irina. “Hasil penjualan berbagai kerajinan yang telah kami buat dibagi, sebagian diberikan kepada anak-anak dalam bentuk tabungan, sebagian untuk membantu operasional sekolah.” Beberapa pihak sudah memesan cendera mata seperti sabun untuk pernikahan. Bahkan Sekolah Kami juga pernah menerima pesanan dari luar negeri (Belanda) berupa kerajinan hasil olahan barang-barang bekas. Keinginan para pendidik di Sekolah Kami tidaklah muluk-muluk, tak terlalu berharap anak-anak didiknya dapat mengenyam pendidikan SMA. Setelah ‘lulus’ dari Sekolah Kami, anak-anak didukung untuk mengikuti ujian Paket A. Jika berhasil, mereka disekolahkan di SMP 252 Terbuka yang dilanjutkan dengan enam bulan pelatihan di Balai Latihan Kerja (BLK). Hasilnya, beberapa anak ada yang sudah lulus dari BLK dan dapat diterima bekerja di perusahaan konfeksi maupun salon kecantikan. [caption id="attachment_174160" align="aligncenter" width="384" caption="Kelas 1 Sekolah Kami (foto oleh: Sandrina Malakiano)"]
13304882981229633209
13304882981229633209
[/caption] Menurut Irina, tantangan paling sulit dalam mendidik anak-anak Sekolah Kami adalah mengubah pola pikir dan perilaku mereka. Saat pertama kali bergabung dengan Sekolah Kami, waktu ditanya apa cita-citanya andai mereka besar nanti, banyak di antara anak-anak tersebut yang menjawab,”Ingin punya gerobak yang lebih besar!” Atau bila orangtuanya kini adalah pemulung biasa, mereka ingin menjadi ‘bos pemulung’ atau pengepul. Hal ini menunjukkan betapa terbatasnya dunia mereka, hanya seputar kegiatan di lokasi pembuangan sampah. Para pendidik seringkali juga harus ’tarik-menarik’ dengan orangtua mereka di rumah. Mengenai perilaku, misalnya. Pendidikan perilaku selama belajar di Sekolah Kami yang terbatas hanya beberapa jam, seringkali sirna saat mereka berada di rumah, karena orangtua mereka tak memiliki dasar pendidikan perilaku yang memadai. Masalah muncul setelah libur panjang ketika anak-anak sudah lupa dengan yang diajarkan. Terutama tentang akhlak dan kebersihan, karena selama di rumah (baca: bedeng/lapak) mereka tidak melakukan itu. Kini, hasil kerja keras para pendidik di Sekolah Kami membuahkan hasil. Anak-anak hasil asahan Irina dan tim memperlihatkan perilaku yang santun, percaya diri, terampil, dan suka membantu, dan dengan mudahnya membaur dengan anak-anak kami. Anak-anak tersebut tanpa ragu bergandengan tangan dengan anak-anak kami, menunjukkan tempat tinggal mereka, juga mengajarkan berbagai keterampilan yang mereka pelajari di Sekolah Kami kepada anak-anak kami. Cita-cita mereka kini pun cukup besar ketika ditanya. Layaknya anak-anak pada umumnya, mereka ingin terus sekolah. “Saya ingin jadi tentara!” ujar Agus. ”Saya ingin jadi guru!” teriak Robi. Seperti harapan Irina dan para pendidik Sekolah Kami, semoga mereka memperoleh kesempatan untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sehingga Agus bisa menjadi tentara, Robi bisa menjadi guru, atau apapun cita-cita anak-anak Sekolah Kami ini, yang juga merupakan generasi penerus negeri. [caption id="attachment_176084" align="aligncenter" width="392" caption="Perkampungan pemulung, tempat anak-anak Sekolah Kami dibesarkan"]
13315669091027748839
13315669091027748839
[/caption] [caption id="attachment_176085" align="aligncenter" width="392" caption="Agus dan Robi sedang menjahit. Semoga mereka dapat meraih cita-cita sebagai tentara dan guru."]
1331567084903268151
1331567084903268151
[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun