Struktur organisasi seperti fungsional, divisional, hingga mekanistik memang lazim diterapkan di sekolah. Tapi menurut Josephs et al. (2022) dan Whetsell et al. (2020), struktur mekanistik yang terlalu hierarkis bisa menghambat inovasi dan memperlambat respons perubahan.
Sekolah yang masih mempraktikkan struktur top-down tanpa evaluasi budaya kerja akan sulit adaptif di era Kurikulum Merdeka yang menuntut kolaborasi.
Komunikasi: Sumber Daya yang Terlupakan
Komunikasi adalah napas organisasi. Tanpa komunikasi yang terbuka, organisasi hanya berjalan dengan instruksi, bukan kolaborasi. Muspawi et al. (2022) menekankan pentingnya komunikasi vertikal, horizontal, dan diagonal agar tidak ada pihak yang merasa terpinggirkan.
Sayangnya, komunikasi di banyak sekolah masih bersifat satu arah, dari kepala sekolah ke guru. Di mana ruang dialognya? Di mana suara guru?
Pengambilan Keputusan: Siapa yang Dilibatkan?
Simon (2015) dan Azzahra et al. (2024) mengingatkan bahwa keputusan yang baik datang dari partisipasi, bukan dominasi. Tapi yang sering terjadi, guru hanya menerima keputusan tanpa dilibatkan dalam prosesnya.
Padahal mereka lah yang paling tahu dinamika kelas.
Pengambilan keputusan yang eksklusif hanya akan melahirkan kebijakan yang lepas dari konteks lapangan. Ini bukan hanya soal efisiensi, tapi soal keadilan organisasi.
Solusi: Budaya Kolaborasi, Bukan Tambal Sulam Jabatan
Daripada menambah jabatan atau merombak struktur, yang dibutuhkan sekolah adalah:
- Budaya organisasi yang terbuka
- Komunikasi lintas peran yang fungsional
- Kepemimpinan yang melibatkan guru dalam proses keputusan
- Pelatihan manajerial & soft skill untuk seluruh level