Ramadan tahun ini memang berbeda. Biasanya, saat Ramadan tinggal menghitung hari seperti sekarang. Pasti ada saja bingkisan makanan, sarung atau apa saja yang diberikan santri-santriku. Juga jamaah pengajianku. Bukan berharap sih, tapi terasa beda saja.
Aku juga harus berdiam diri di rumah. Padahal, Ramadan selalu menjadi bulan paling sibuk, dibanding bulan lainnya. Sibuk memenuhi undangan menjadi imam dan penceramah tarawih, kuliah shubuh, tausyiah menjelang berbuka, dan menjadi penceramah nuzulul Qur'an. Otomatis staminaku harus terjaga, dan tentunya rezeki juga mengalir. Para santri dan jamaah sepertinya berebut untuk memberiku apa saja yang dapat diberikan.
Namun, saat ini semua berubah. Kesibukan ramadan tidak kurasakan. Beruntung aku masih punya tabungan, transport dari privat baca Al-Qur'an putra lurah yang sudah mahasiswa itu. Anak muda yang penuh rasa ingin tahu, juga lebih melek teknologi di banding aku.
Beruntung, walaupun bukan santri terbaik saat mondok, dasar-dasar agama cukup dikuasai. Termasuk kemampuan dalam membaca kitab-kitab berbahasa Arab. Sehingga, dengan mudah aku dapat membaca referensi secara langsung dari lautan ilmu para ulama. Karenanya, mahasiswa cerdas itu mulai mau belajar lebih bijak dalam menerima informasi apapun tentang agama.
Dengan uang tabungan itu, istriku membuka warung kecil. Menjual makanan yang memang disukai oleh anak-anak sekolah dekat rumahku. Namun, saat siswa harus belajar di rumah, warung menjadi sepi.
Tapi istriku menjual makanan kecil untuk berbuka, aku ikut membantu untuk menyiapkannya. Alhamdulillah dengan berjualan makanan berbuka, agak membantu keuangan keluarga yang lumayan tidak ringan.
"Lebaran nanti, sepertinya Bapa pakai sarung yang lama yah, soalnya belum ada uang buat beli sarung!" istriku menghentikan lamunanku.
"Ngga apa-apa, mukena Mamah juga masih yang lama, soalnya Bapa juga belum bisa ngasih yang baru, ngga apa-apa khan?" jawabku agak muram
"Ngga apa-apa, mukena yang sekarang aja masih bagus kok!" jawab istriku menenangkan.
"Terima kasih ya sayang, alhamdulillah bisa makan saja sudah luar biasa!" Aku bersyukur, sambil melihat istriku dengan senyum manisnya.
"Assalamu'alaikum, Pa Ustadz!" terdengar suara di luar rumah.