Mohon tunggu...
Esti Snra
Esti Snra Mohon Tunggu... Makeup Artist - Bismillahirrahmanirrahim:)

Mahasiswi UIN Walisongo Semarang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendekatan Teori Sigmund Freud terhadap Nomophobia pada Anak dan Remaja

18 April 2021   22:45 Diperbarui: 20 April 2021   07:50 1336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

 

Oleh:

Esti Sukanti Nur Aisyah (1903016095)

PAI 4C / FITK

UIN Walisongo Semarang

Pendahuluan


Seiring dengan perjalanan waktu, perkembangan zaman mengalami kemajuan salah satunya adalah dibidang teknologi informasi. Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat ditandai dengan beredarnya barang-barang elektronik, seperti mobile phone atau smartphone. Smartphone merupakan suatu perangkat untuk membantu berkomunikasi yang juga memiliki kemampuan seperti komputer. Dengan smartphone, seseorang dapat berkomunikasi dengan mudah, hal ini disebabkan oleh adanya fitur-fitur yang didesain sedemikian canggih sehingga seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa harus bertatap muka secara langsung. Selain itu, smartphone dapat memudahkan seseorang dalam beraktivitas, seperti berbelanja, melakukan transaksi keuangan, melihat berita terbaru, menonton film, berfoto, bermain game, dan sebagainya.  Kemudahan dan kenyamanan yang disediakan smartphone membuat smartphone populer disemua kalangan, baik orang dewasa maupun anak-anak.

Sebuah penelitian terbaru yang juga disebutkan oleh Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menyebutkan bahwa 30 persen anak di bawah usia enam bulan sudah mengalami paparan gadget secara rutin dengan rata-rata 60 menit per hari. Semakin bertambah usianya, durasi penggunaan ponsel pun menjadi lebih panjang. (Vonia Lucky, 2021)

Penciptaan smartphone sesuai dengan esensinya yaitu untuk memudahkan aktivitas manusia. Namun, dari segala kemudahan dan kenyamanan yang ditawarkan smartphone juga membawa dampak negatif apabila digunakan secara berlebihan. Salah satu dampak negatif dari penggunaan smartphone adalah nomophobia. Nomophobia adalah jenis gangguan kecemasan akibat tidak memegang ponsel. 

Layaknya seperti pecandu, orang dengan kondisi ini tidak dapat melepas ponsel kapan dan di mana pun. Saat ponsel tidak dalam genggaman penderitanya, mereka akan merasakan ketakutan yang kuat, sehingga bisa mengganggu aktivitas sehari-hari. Beberapa penelitian menunjukkan hampir 53% orang Inggris merasakan hal tersebut, ketika mereka tidak memegang ponsel, baterai ponsel habis, atau ketika tidak mendapatkan sinyal untuk mengakses ponsel maupun internet. Kecemasan tidak memegang ponsel memang tidak tercantum dalam panduan DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders). Namun, ahli kesehatan menyebutkan bahwa kondisi ini termasuk dalam penyakit mental, khususnya kecanduan terhadap smarthphone. (Aprinda Puji, 2021)

Apa itu Nomophobia?

Nomophobia (No-Mobile-Phone-Phobia)  merupakan perasaan cemas atau kurang nyaman yang muncul akibat jauh dari smartphone. Istilah ini muncul pertama kali pada tahun 2008, setelah penelitian yang dilakukan oleh UK Post Office. Terdapat dua istilah yang berhubungan dengan nomphobia yakni nomophobic dan nomophobe. Nomophobic adalah istilah yang digunakan untuk mencirikan karakteristik atau perilaku seseorang yang berhubungan dengan nomophobia, sedangan nomophobic adalah istilah untuk seseorang yang menderita nomophobia.

Bagaimana ciri-ciri seseorang yang menderita Nomophobia?

Pradana dalam Indah Permata Sari mengemukakan ciri-ciri dan karakteristik orang yang mengidap nomophobia yakni:

  1. Selalu melihat dan mengecek layar telepon genggam untuk mencari tahu pesan atau panggilan masuk.
  2. Merasa cemas dan gugup ketika telepon genggam tidak tersedia dekat atau tidak pada tempatnya.
  3. Merasa tidak nyaman ketika tidak ada jaringan serta saat baterai lemah.
  4. Menghabiskan waktu menggunakan telepon genggam, mempunyai satu atau lebih gadget dan selalu membawa charger.
  5. Kurang nyaman berkomunikasi secara tatap muka dan lebih memilih berkomunikasi menggunakan teknologi baru.
  6. Tidak mematikan telepon genggam dan selalu sedia 24 jam, selain itu saat tidur telepon genggam diletakkan di kasur. (Indah Permata Sari, 2020: 23)

Apa faktor-faktor yang menyebabkan Nomophobia?

Menurut Bianchi & Philip faktor-faktor penyebab nomophobia, diantaranya sebagai berikut:

1. Gender atau jenis kelamin

Banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa perempuan cenderung mengalami nomophobia dibanding laki-laki.

2. Usia

Anak-anak dan remaja lebih rentan menderita nomophobia dibandingkan dengan orang dewasa. Hal ini dikarenakan orang dewasa lebih dapat mengontrol sikap terhadap teknologi baru.

3. Self-esteem atau harga diri

Self esteem ialah penilaian individu terhadap hasil yang diperoleh dengan menganalisa sajauh mana perilaku memenuhi ideal dirinya.   Melalui interaksi dengan orang lain, individu akan meyakini bagaimana harus mencari harga diri. Dalam hal ini smartphone berperan dalam bentuk self-esteem. Self-esteem yang rendah dapat membawa individu berperilaku diluar kesadaran diri. Smartphone dapat menjadi pelarian dari ketidaksukaannya tentang dirinya.

4. Extraversion personality

Individu yang exstravet memiliki kecenderungan membuat sensasi.  Tipe ini memiliki lingkup pertemanan dan jaringan sosial yang lebih besar. Hal ini secara teknis dapat meningkatkan penggunaan smartphone pada individu yang ekstravet.

5. Neuroticism personality

Neurotisme tinggi ditandai dengan kecemasan, kekhawatiran, kemurungan, dan depresi. Pemilik kepribadian ini cukup emosional, mereka akan bereaksi kuat terhadap banyak rangsangan, dan merasa sulit untuk bersantai setelah mengalami pengalaman emosional. Individu dengan tipe ini akan cemas ketika tidak dapat menghubungi orang lain dan ketika tidak dapat menerima akses informasi melalui smartphone miliknya. (Indah Permata Sari, 2020:24)

Bagaimana dampak dari Nomophobia?

Berdasarkan Jurnal Penelitian dan Pengembangan PAUD dalam Riski Istiqowati, ketika anak sudah menggunakan gadget secara berlebihan, maka dalam segi perkembangan psikologisnya akan banyak terganggu, seperti:

  1. Perkembangan fisik-motorik yang seharusnya anak berkembang aktif dan kreatif namun karena lebih asyik bermain dengan gadget-nya perkembangan fisik-motorik terhambat, anak menjadi malas dan lambat bergerak.
  2. Perkembangan kognitif, anak menjadi kurang peka terhadap lingkungan karena sibuk dengan gadget.
  3. Perkembangan sosio-emosional, anak cenderung memilih diam dirumah atau bahkan hanya ditempat tidurnya sambil bermain gadget-nya. Yang seharusnya anak bermain dengan teman sebayanya untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya.
  4. Perkembangan bahasa, karena anak hanya berinteraksi dengan gadget, anak menjadi tidak terbiasa berbicara dengan orang disekitarnya ataupun orang yang baru dikenalnya. (Rizki Istiqowati, 2020: 21)

Selain berdampak pada psikologis anak, nomophobia juga dapat menyebabkan menurunnya fungsi organ, seperti mata. Layar smartphone memancarkan sinar yang berbahaya bagi mata. Jika mata terus menerus terpapar sinar biru dapat menyebabkan sel retina pada mata rusak. Mata akan mudah lelah, terasa perih dan kualitas penglihatan terasa berkurang atau memudar. Mata yang tegang dapat memunculkan rasa gatal dan panas. Menghabiskan waktu dengan bermain smartphone juga memicu masalah pada tulang leher, yaitu rasa sakit karena terlalu lama menatap layar smartphone. Tidak jarang, anak-anak menghabiskan banyak waktu tanpa melakukan gerakan sedikitpun saat sedang asik bermain smartphone.

Bagaimana Teori Perkembangan Sigmund Freud?

Sigmund Freud dalam teori psikoanalisisnya menyebut elemen dari sifat manusia terdiri dari id, ego, dan superego. Ketiga elemen ini berpadu membentuk karakter seseorang. Freud menjelaskan bahwa pada dasarnya ketika manusia lahir, ia telah memiliki salah satu komponen kepribadian yaitu id. Menurut Freud, id adalah sumber dari libido dan insting dan menjadi sumber energy dari kedua komponen yang lain. Ini adalah bagian yang sangat berorientasi pada diri individu dan hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan yang memuaskan diri individu. Tindakan yang diambil oleh id diorganisasi seputar hasil tindakan yang bersifat memuaskan. Oleh karena itu, bagian ini diregulasi oleh pleasureprinciples. Dalam penjelasannya, Freud menyatakan bahwa Id tidak mengenal telah atau belum tercapainya gratifikasi tersebut, benar atau salahnya, dan tidak ada komponen waktu seperti sudah terjadi pada masa lalu, sekarang, atau pada masa yang akan datang. Seperti pada bayi, dorongan id hanya muncul dan membutuhkan gratifikasi. Karena tidak ada konsep realitas dalam id, Freud menyebutnya primary process thinking. Munculnya dorongan disebut sebagai terciptanya sebuah ketegangan yang mendorong untuk bertingkah laku dalam rangka mengurangi ketegangan tersebut.

Ego adalah elemen dari kepribadian yang membantu individu untuk mengecek realitas diluar dirinya dalam hubungannya dengan dorongan yang dialaminya. Kalau ia merasa lapar, apakah ada makanan untuk dimakan? Jika ada, apakah ia bebas untuk mengambilnya atau harus menahan lapar dahulu hingga diizinkan untuk mengambil makanan itu? Untuk memutuskan, seorang individu yang makin dewasa akan menggunakan pertimbangan rasional, memori, persepsi, dan rekognisinya untuk memuaskan dorongan dan menurunkan ketegangan yang terjadi. Dengan demikian, ego merupakan mekanisme control terhadap impuls yang berasal dari Id. Ego menjembatani antara kecenderungan berperilaku dengan realitas yang ada dalam konteks perilaku tersebut.

Superego adalah komponen ketiga yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk dapat hidup beradab. Komponen ini lebih bersifat tidak disadari dan kita peroleh sejak masa kanak-kanak. Ini adalah mekanisme control terhadap impuls Id yang kedua yang didasarkan atas keyakinan kita tentang yang baik dan yang buruk, yang benar dan salah. Komponen ini sering disebut sebagai moralitas internal, kata atau suara hati, yang telah dipelajari oleh anak-anak sejak bayi hingga usia 5-6 tahun. (Irwanto, 2018: 193-194)

Apa Hubungan Teori Sigmund Freud dengan Nomophobia?

Individu yang mengalami nomophobia mendapatkan dorongan dari id untuk memenuhi kebutuhan yang memuaskan dirinya yaitu bermain smartphone. Ego sebagai penerima impuls dari id, berperan mengambil keputusan dalam tindakan. Ego dari individu tersebut akan menyadari bahwa ia harus memenuhi kebutuhannya. Namun, hati nalurinya (superego) enggan melalukan keputusan dari ego.  Saat terjadi dorongan id yang sangat kuat, dan ego mencari rasionalisasi, tetapi terhalang oleh superego, hal itu dapat menimbulkan ketegangan dan kecemasan yang berlebih pada individu. Jika ketegangan begitu besar dan kecemasan memuncak, Freud menyatakan bahwa orang dewasa pun dapat mengalami situasi ketidakberdayaan.  Dalam hal ini, ego dan superego perlu mempunyai sebuah mekanisme untuk mengatasi kecemasan dengan cara tertentu sehingga kecemasan yang selalu ada tidak mengganggu kesehatan mental seseorang.

Bagaimana cara mencegah Nomphobia?

Orang tua perlu mengatasi nomophobia pada anak sejak dini sebelum kecanduan anak semakin parah, Dilansir dari Healthline.com, cara mengatasi nomophobia diantaranya :

1. Cognitive behavioral therapy (CBT) atau terapi perilaku kognitif

Terapi ini dapat membantu anak belajar dalam mengelola pikiran dan perasaan negatif  yang muncul saat tidak dapat menggunakan ponsel. Dalam terapi ini, seorang anak akan diminta untuk distorsi dalam proses pikirnya (yang berhubungan dengan gangguan yang dialaminya) pada situasi-situasi tertentu dan mencoba mengubah sudut pandangnya terhadap masalah tersebut.

2. Exposure therapy atau terapi pemaparan

Terapi pemaparan melibatkan pemaparan target ke sumber kecemasan. Dalam terapi ini, seorang anak akan dihadapkan dengan pengalaman tidak dapat menggunakan ponselnya secara perlahan atau tidak memiliki ponsel.

3. Pengobatan

Untuk mengatasi gejala nomophobia yang sangat parah, orang tua dapat melakukan pengobatan, namun pengobatan ini tidak dapat mengatasi akar penyebabnya. Hal ini, tergantung pada gejala yang dialami anak. Beberapa contoh obat yang mampu mengatasi nomophobia :

  • Beta blocker: obat ini dapat membantu mengurangi gejala fisik fobia, seperti pusing, kesulitan bernapas, atau detak jantung yang cepat. Anak mengonsumsi ini sebelum menghadapi situasi yang melibatkan ketakutannya. Misalnya, ketika anak harus ke lokasi dengan sinyal yang buruk.
  • Benzodiazepin: obat ini dapat membantu anak mengurangi rasa takut dan cemas ketika ia merasa tidak bisa menggunakan ponselnya. Obat ini bisa berisiko mengembangkan ketergantungan pada anak, jadi dokter biasanya hanya akan meresepkannya untuk penggunaan jangka pendek. (Popmama.com, 2021)

Adapun upaya pencegahan nomophobia yang dapat dilakukan individu, diataranya:

1. Atur waktu penggunaan smartphone

Individu yang telah mengalami nomophobia akan kesulitan jika harus meninggalkan gadget miliknya. Namun, hal itu bisa dimulai dengan mengatur waktu penggunaan smartphone paling lama satu jam. Kemudian individu dapat melakukan kegiatan lain sebagai peralihan perhatian terhadap smartphone.

2. Kurangi perhatian pada kehidupan maya

Bermain media sosial memang sangat mengasyikan, beberapa orang bahkan merasa lebih bahagia dengan dunia maya. Namun, jika terlalu lama bisa menyebabkan ketergantungan, bahkan tidak sedikit orang yang  kurang pandai berkomunikasi di dunia nyata akibat terlalu sering menggunakan sosial media.

3. Matikan smartphone satu jam sebelum tidur

Mematikan smartphone pada malam hari dapat memberikan tidur yang nyaman atau lebih nyenyak.

Nomophobia sebagai kecemasan yang timbul akibat berjauhan dari ponsel, cenderung terjadi pada perempuan, anak-anak dan remaja, serta pemilik kepribadian ekstrovet. Dampak yang ditimbulkan dari nomophobia tidak hanya pada masalah psikologi namun juga dapat berdampak pada kesehatan. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya dari orangtua maupun dari individu itu sendiri untuk mencegah terjadinya nomophobia.

Daftar Pustaka

Irwanto. 2018. Sejarah Psikologi: Perkembangan Perspektif Teoritis. Jakarta: Gramedia Pustaka. Tersedia dari Ipusnas.

Istiqowati, Rizki. 2020. Upaya Orang Tua dalam Mengatasi Problematika Penggunaan Gadget pada Anak Usia Dini. Purwokerto: IAIN Purwokerto. Tersedia dalam http://repository.iainpurwokerto.ac.id/8818/2/Rizki%20Istiqowati_UPAYA%20ORANG%20TUA%20DALAM%20MENGATASI%20PROBLEMATIKA%20PENGGUNAAN%20GADGET%20PADA%20ANAK%20USIA%20DINI.pdf, diakses pada 17 April 2021, pukul 21:00.

Popmama.com. 2021. “Ciri-ciri Nomophobia pada remaja dan cara mengatasinya”, tersedia dalam https://www.popmama.com/big-kid/10-12-years-old/jemima/ciri-ciri-nomophobia-pada-remaja-dan-cara-mengatasinya/7 , diakses pada 18 April 2021 pukul 17:00.

Puji, Aprinda. 2021. “Cemas atau Takut Saat Tidak Memegang Ponssel? Bisa Jadi Pertanda Nomophobia”, tersedia dalam https://hellosehat.com/mental/gangguan-kecemasan/nomophobia/, diakses pada 18 April 2021, pukul 21:00.

Rizqi, Vonia Lucky Pradhitya. 2021. “Bahaya Nomophobia! Saat Anak Mulai Kecanduan Main Gadget”, tersedia dalam https://www.motherandbaby.co.id/article/2021/2/12/20615/Bahaya-Nomophobia-Saat-Anak-Mulai-Kecanduan-Main-Gadget, diakses pada 17 April 2021, pukul 20:00.

Sari, Indah Permata, dkk. 2020. Konsep Nomophobia pada Remaja Generasi Z. Jurnal Riset Tindakan Indonesia, 5 (1). Tersedia dalam http://jurnal.iicet.org/index.php/jrti, diakses pada 17 April 2021, pukul 21:15.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun