Mohon tunggu...
Esti Maryanti Ipaenim
Esti Maryanti Ipaenim Mohon Tunggu... Jurnalis - Broadcaster, seorang ibu bekerja yang suka baca, nulis dan ngonten

Menulis gaya hidup dan humaniora dengan topik favorit; buku, literasi, seputar neurosains dan pelatihan kognitif, serta parenting.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Artikel Utama

Yuk, Praktikkan Mindfulness dalam Berbelanja, Memasak, hingga Makan

2 Mei 2020   23:14 Diperbarui: 5 Mei 2020   14:52 1526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Hidangan Makanan (dokpri)

Makang par hidup ka hidup par makang? (Makan untuk hidup, atau hidup untuk makan), itu olok-olok yang sering saya dengar saat masih kecil. Diucapkan orang-orang di kampung halaman saya kepada mereka yang suka kalap lihat makanan dan kerjaanya mau makan terus. 

Ada juga satu jargon yang populer di generasi saya; apalosa, singkatan dari apapun lot saja (apa saja pasti dimakan).

Ungkapan-ungkapan sejenis saya yakin pasti ada di berbagai daerah dengan penyebutan sesuai kearifan lokal masing-masing.

Tentu saja ada pesan penting di balik olok-olok tentang perilaku makan ini. Pesan itu adalah makanlah secukupnya, dan jangan berlebih-lebihan. Sebuah pesan universal yang ada dalam setiap ajaran agama dan norma adat daerah manapun. Begitulah lingkungan di luar tubuh manusia mencoba mengontrol perilaku individunya.

Namun, tanpa kontrol dari luar pun, sebenarnya tubuh kita secara alamiah telah melakukan kontrol itu. Tubuh akan memberitahu kita ketika sudah kenyang.

Professor Hilary Coller dari Departemen Biologi dan Kimia Universitas California Los Angeles, dalam sebuah video TED-nya berjudul "How Does Your Body Know You Are Full?" pernah menjelaskan tentang hal ini.

Ia mengungkap bahwa ada banyak syaraf yang terbungkus di sekitar dinding perut yang bisa merasakan peregangan akibat terisi makanan. Saraf-saraf ini kemudian berkomunikasi dengan saraf vagus sampai ke batang otak dan hipotalamus, yang mengontrol asupan makanan. Input ini ditanggapi hipotalamus sebagai pesan; kenyang.

Selain itu, hormon yang diproduksi sel endoktrin melalui sistem percernaan, juga mendeteksi adanya nutrisi spesifik di dalam usus dan aliran darah, yang secara bertahap meningkat saat kita mencerna makanan. Hormon-hormon ini terlibat langsung dalam menavigasikan selera makan kita.

Pertukaran informasi antara hormon, saraf vagus, batang otak dan hipotalamus, membuat otak kita mendapat sinyal bahwa kita sudah cukup makan. Sayangnya sinyal itu seringkali kita abaikan karena ketidakmampuan kita melakukan mindfulness ketika makan.

Mindful Eating atau kebiasaan makan dengan kesadaran penuh, adalah ketika kita benar-benar memperhatikan setiap momen kita mengonsumsi makanan dan minuman ke tubuh kita. Ini berarti, kita tidak hanya fokus menilai enak tidaknya makanan tersebut, namun juga menyadari sinyal-sinyal yang diberikan tubuh tentang kepuasan dan kekenyangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun