Oleh :
Esra Kriahanta Sembiring, (Alumnus Ilmu Politik UGM, Magister Administrasi Publik LAN RI, Magister Pertahanan UNHAN)
Sejak akhir Mei 2019, ISIS mengalami '100 persen kekalahan teritorial', setelah markas terakhir di Baghouz direbut kembali. SDF yang terdiri atas milisi Kurdi dan Arab di Suriah telah sejak lama bertempur melawan ISIS, dengan dukungan dari koalisi militer pimpinan Amerika Serikat (AS).Â
Dampak dari kekalahan ISIS ini sebagian fighter nya tewas dalam perang dan sebagian menyerah atau tertangkap dan menjalani hukuman. Lalu bagaimana dengan keluarga nya ?
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengatakan saat ini ada sekitar 660 orang warga negara Indonesia (WNI) mantan anggota ISIS yang berada dalam kamp pengungsian. Menurutnya hal ini bermula saat BNPT mendapat informasi dari beberapa lembaga intelijen internasional Timur Tengah.
Ada sekian puluh ribu, di tiga camp di Suriah, FTF (foreign terrorist fighter/teroris asing) dengan keluarganya dan ada yang mengaku sebagai WNI dan minta dipulangkan ke Indonesia.
Pertanyaan yang spontan terbersit seketika adalah "Layakkah eks ISIS ini menganggap dirinya masih sebagai warga negara Indonesia ?!".
Pengamat terorisme Al Chaidar mengatakan bahwa WNI yang pernah menjadi simpatisan ISIS tergolong "hanya" salah jalan. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia perlu memulangkan mereka kembali ke kampung halaman.Â
Bahkan ia menilai WNI yang membakar paspor atau identitas diri tidak bisa disebut telah kehilangan kewarganegaraannya. Menurutnya status warga negara masih tetap ada walau paspor hilang atau dibakar. Pemerintah harus tetap menerima mereka eks ISIS. Mereka hanya salah jalan saja," kata Al Chaidar
Benarkah pendapat seperti ini ?
Sebagai contoh pembanding untuk membahas kasus yang mirip dengan dilematika pro kontra eks ISIS ini adalah seperti yang juga terjadi di Amerika.