Itu sebabnya seorang chef tahu bagaimana makanan yang enak. Memang kita tidak perlu harus menjadi seorang chef untuk mengetahui seperti apa rasa enak yang benar. Namun, lidah memang harus dilatih, seperti halnya kita melatih otot (dalam berolahraga) agar kuat, misalnya.
Kita juga memiliki "pengetahuan tambahan" untuk membantu kita "menentukan makanan yang enak".Â
Coba saja lihat, pada umumnya orang tidak akan membeli makanan yang dijual di tempat sembarangan, atau makanan yang bentuknya saja tidak menarik selera. Â Otak kita akan mengirim label-label, seperti "makanan tidak enak" dan "jangan dibeli".Â
Proses yang sama juga terjadi saat kita memilih tulisan yang baik dan dipercaya. Misalnya, kita tidak mungkin memilih satu tulisan yang bahasanya amburadul untuk kita jadikan sebagai dasar informasi.
Kembali lagi ke persoalan kita semula, ketika kita membaca untuk menulis, banyak hal yang (harus) kita perhatikan, di antaranya bahasanya, penjelasannya, logikanya, dan sebagainya.Â
Ini yang membuat kita, ketika membaca sebuah tulisan, prosesnya menjadi lebih lambat. Namun, dari situ, proses pembelajaran yang terjadi menjadi lebih mendalam.
Ketika kita membaca untuk membaca, kadang kita "tidak peduli" apakah kita mengerti atau tidak. Kita memang tetap belajar sesuatu dari situ, tetapi tidak mendalam.Â
Sebaliknya, kalau kita membaca untuk menulis, kita perlu mengerti tulisan itu dengan baik dan memperhatikan hal-hal kecil. Ini sangat diperlukan pada saat kita menulis. Jadi, tidak aneh kalau kita harus mengulang membaca sebuah kalimat atau bahkan seluruh paragraf.
Lebih kompleks lagi kalau kita harus menerjemahkan tulisan itu. Dari situ, kita bukan hanya belajar tentang sesuatu dari sang penulis, tetapi juga tahu bagaimana tingkat pengetahuan sang penulis, termasuk pengetahuan kebahasaannya.Â
Pada waktu yang sama kita juga dituntut memiliki pengetahuan luas dan ketrampilan tinggi dalam bahasa, sebab setiap kata memiliki nafas dan warna yang berbeda.
Mexico City, 6 Desember 2021