Mohon tunggu...
Suhadi Rembang
Suhadi Rembang Mohon Tunggu... Guru Sosiologi SMA N 1 Pamotan -

aku suka kamu suka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tradisi Tunggangan Tegaldowo

12 Juli 2016   14:01 Diperbarui: 12 Juli 2016   14:04 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar. Tradisi Tunggangan anak laki-laki yang akan disunat (Sumber: Koleksi Penulis)

Masyarakat Tegaldowo Rembang Jawa Tengah memiliki tiga tradisi unik yang hingga sekarang masih dipertahankan. Tiga tradisi tersebut adalah sampur bawur, tradisi ngalungi, dan tradisi tunggangan.Tradisi sampur bawur merupakan ritual masyarakat dalam mengubur jajan apem, kembang, dan barang sesaji lainnya. Tradisi ngalungi yaitu perilaku memberi kalung kepada sapi yang dilaksanakan pada hari jumat pahing. Kemudian tradisi tunggangan merupakan tindakan seseorang menaiki naik kuda pada saat ritual pernikahan dan khitanan. Pada kali ini Penulis hanya mengulas tradisi tunggangan, karena tradisi ini unik dan telah memiliki pengikut yang kuat.

Tunggangan merupakan tindakan seseorang menaiki naik kuda. Tradisi tunggangan termasuk bagian dari ritual pernikahan dan khitanan. Pada ritual pernikahan, menunggang kuda dilakukan ketika calon pengantin laki-laki yang hendak menuju rumah calon pengantin perempuan. Pada saat ritual khitanan, tradisi tunggangan dilakukan pada saat anak laki-laki yang akan dikhitan, diarak  dengan menaiki kuda mengelilingi desa.

Asal usul tradisi tunggangan menurut masyarakat Tegaldowo terdapat dua versi. Pertama, tradisi tunggangan berhubungan dengan cerita lisan tentang seorang tokoh yang bernama Ronggodito yang memiliki kebiasaan menunggang kuda. Kedua, tradisi tunggangan berhubungan dengan datangnya para tentara berkuda. Keduanya menceritakan tentang sosok laki-laki penunggang kuda yang perkasa, kuat, dan pemberani dalam membela kepentingan orang banyak.

Tidak akan ada tanpa adanya seorang sakti berjuluk Pangeran Ranggadhita. Dialah seorang yang telah membabat alas Pasowan. Hutan lebat yang masuk wewengkon Rembang yang berbatasan dengan wilayah hutan Blora.

Sumber: Wawancara dengan Mbah Jenggot, 02 Agustus 2013.

Dari cerita lisan yang dituturkan dari generasi ke generasi adalah laki-laki penunggang kuda yang diyakini menjadi orang pertama yang membuka lahan pertanian di Tegaldowo. Laki-laki penunggang kuda ini diyakini sebagai orang yang pertama kali membuka lahan pertanian dari belantara hutan yang terkenal wingit (angker) itu. Dengan kekuatan yang dimilikinya, telah menarik perhatian orang-orang untuk melihatnya. Banyak orang yang simpatik dengan laki-laki penunggang kuda itu. Hingga kemudian banyak orang-orang yang menjadi muridnya, dialah yanghingga saat ini dikenal dengan sebutan “Pangeran Ronggodito”.

Menurut keyakinan masyarakat setempat, Ronggodito mempunyai kebiasaan menunggang kuda dengan mengenakan baju hitam saat mengelilingi area hutan. Seragam kuda hitam inilah yang kemudian menginpirasi para pegiat seni tunggangan untuk digunakan sebagai seragam pentasi seninya. Setiap mendengar gemerincing dan derap kuda pada saat itu, seolah masyarakat mendapatkan semangat hidup berlipat ganda. Perilaku Ronggodito yang mengubah hutan belantara menjadi lahan pertanian, telah diikuti oleh orang-orang dalam memiliki areal pertanian. Hampir setiap dari mereka yang ikut membuka hutan untuk tanah pertanian, selalu membayangkan dapat memiliki kuda tunggangan seperti yang dimiliki Ronggodito.

Gambar. Pegiat Seni Barong Ronggodito desa Tegaldowo (Sumber: Koleksi Penulis)
Gambar. Pegiat Seni Barong Ronggodito desa Tegaldowo (Sumber: Koleksi Penulis)
Tentang asal usul penanggang kuda berikutnya, cerita lisan yang berkembang berikutnya adalah para pejuang pengusir penjajah yang sempat bersinggah di Tegaldowo. Dengan datangnya kelompok pejuang berkuda ini, penduduk setempat sangat simpatik dengan mereka. Penduduk terkagum-kagum dengan pejuang penunggang kuda karena perjuangannya saat mengusir penjajah.

Itu (penunggang kuda) berasal dari para pejuang yang menunggang kuda. Suatu ketika singgah di desa ini. Dari peristiwa itu, setiap ada pernikahan, pengantin laki-laki nunggang kuda. Sumber: Wawancara dengan Legiman, pegiat seni Barongan Tegaldowo, tanggal 17 Agustus 2013.

Tidak hanya mereka yang hendak ke pelaminan, akan tetapi untuk anak laki-laki yang hendak dikhitan juga diarak di atas kuda.

Agar kelak mereka besar menjadi seorang hebat, maka sebelum dikhitan, bocah mesti naik kuda diarak keliling desa. Ini telah menjadi ritual adat yang masih terjaga sampai sekarang.  Sumber: Wawancara dengan Mbah Jenggot, 02 Agustus 2013.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun