Pria Jawa, Etos Kerja, dan Refleksi atas Semangat yang Mulai Redup
Beberapa waktu lalu, ketika sedang berselancar santai di media sosial, sebuah unggahan membuat jari saya berhenti menggulir layar. Bukan karena desain visualnya mencolok atau tulisannya viral, tapi karena isinya mengena... sangat mengena.
Begini kira-kira bunyinya:
"Lelaki Jawa umumnya kalau bekerja tidak kenal waktu. Gas terus mumpung masih kuat. Mau kerja kantoran, kerja luar ruangan, gas poll."
Saya terdiam sejenak. Kalimat sederhana itu membawa saya pada kenangan, perbandingan, dan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini terpendam.
Kilas balik terjadi. Saya teringat pada satu perjalanan ke Hanoi, Vietnam. Sore hari menuju malam, saya berjalan kaki mencari makan malam. Di sebuah jalan yang tidak terlalu besar, saya melihat beberapa pria tengah sibuk bekerja membangun sebuah Ruko. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, namun mereka masih semangat mengangkat material, mengaduk semen, dan berkoordinasi dengan cekatan. Tidak ada wajah murung, tidak ada keluh, hanya ada kesungguhan.
Spontan, saya membandingkannya dengan pemandangan yang sering saya lihat di Indonesia. Terutama di Jawa. Perbedaan itu terasa mencolok. Di sini, jam lima sore sudah banyak yang bersiap-siap pulang, bahkan kadang-kadang sejak jam empat pun semangat kerja sudah menurun drastis. Bukan berarti tidak ada yang rajin. Ada. Tapi jumlahnya... terasa kian menipis.
Dan saya jadi bertanya dalam hati: apa yang sebenarnya terjadi?
Padahal kalau kita mundur sedikit ke belakang, banyak sekali cerita tentang betapa gigihnya orang Jawa. Apalagi mereka yang merantau. Cerita-cerita tentang perantau dari Jawa yang berhasil membangun kehidupan baru di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, hingga ke negeri orang. Mereka jadi petani sukses, pedagang, bahkan kepala daerah. Mereka dikenal sebagai pekerja keras, ulet, jujur, dan bisa diandalkan.
Saya pernah mendengar kisah menarik dari seorang pengusaha pengolahan sampah plastik. Ia bercerita bahwa pekerja terbaiknya justru berasal dari Jawa. Loyal, pekerja keras, dan jarang mengeluh. Bahkan, demi memastikan mereka kembali bekerja setelah libur pulang kampung, ia rela membelikan tiket pesawat pulang-pergi agar mereka mau balik dan tidak berpindah ke tempat lain. Itu bukan soal biaya---tapi soal kualitas SDM yang sudah langka.
Namun, ketika kita melihat di kampung halaman sendiri, cerita yang muncul seringkali bertolak belakang. Banyak anak muda yang lebih senang menghabiskan waktu nongkrong, main game, atau membuat konten yang viral tapi kosong makna. Pekerjaan fisik dianggap "nggak keren". Banyak yang hanya ingin kerja yang santai, tapi menghasilkan banyak. Semangatnya bukan lagi "gas poll" tapi "kalau cocok di hati dan di dompet, baru gerak."
Lebih parah lagi, banyak yang membungkus kemalasan dengan dogma spiritual: "Rezeki sudah ada yang mengatur", "uang bukan segalanya", atau "hidup itu jangan dipaksa, yang penting happy." Tentu saja, dalam konteks tertentu, kalimat-kalimat itu sah dan bisa menenangkan hati. Tapi jika dijadikan pembenaran untuk tidak berkembang dan enggan berjuang, itu justru jebakan.
Kembali ke pertanyaan besar: benarkah pria Jawa itu dulunya memang pekerja keras? Apakah itu warisan genetik, budaya, atau gabungan dari banyak hal?
