Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mantan Menteri Dilarang “Ngawurulogi”

6 Desember 2014   20:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:54 942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pernyataan mantan menteri kelautan dan perikanan Freddy Numberi yang memuji ketegasan pemerintahan Jokowi dalam menyikapi ilegal fishing layak dikritisi. Bagi saya sebagai seorang mantan menteri yang pernah menduduki departemen  yang sama dalam pemerintahan sebelumnya tak layak mengumbar kelemahan atasannya seakan atasannya seorang peragu atau takut berlebihan, dan sebaliknya memuji pihak lain yang berkuasa saat ini dengan alasan tertentu. Pernyataan tersebut sesungguhnya akan berefek negatif  pada yang berbicara.



Ambil contoh ketika Freddy mengakui dia berniat akan membakar  kapal Vietnam dan SBY menegurnya, kenapa saat itu Freddy tak memposisikan dirinya sebagai seorang yang berani dan tidak mengenal rasa takut? Pastinya jika saya seorang menteri maka saya tidak perlu minta pendapat atasan untuk menindak para pelaku ilegal fishing karena merasa  bertanggungjawab tehadap keberhasilan departemen yang saya pimpin.

Kalau saya tidak melakukan pembakaran itu, artinya saya sama peragu dan pengecutnya dengan atasan saya. Dikaitkan dengan kasus  pak Freddy, jika Presiden dianggap takut menganggu hubungan baiknya dengan Vietnam, berarti saya takut kehilangan jabatan dalam menegakkan martabat bangsa. Lalu siapa yang cocok mendapat label peragu dan takut berlebihan? SBY dengan hubungan baiknya atau Freddy dengan jabatannya?



Jatuh vonisnya ya sama saja. Keduanya peragu dan mengidap rasa takut berlebihan dalam menjaga kekayaan nasional. SBY tak ingin terusik hubungannya dengan negara tetangga. Menteri takut diusik jabatannya jika tak manut pada atasan. Jadi tak perlu saling menyalahkan. Biarkan rakyat yan menilai secara objektif, bukan mengelak untuk menaruh simpati atau sekedar mencari pembenaran atas kelalaian selama menjabat. Kalau penenggelaman kapal dulu memang tak memungkinkan untuk dilakukan pada contoh kasus ini, ya menterinya harus kreatif mencari cara misalnya melakukan denda atau menyita kapal tersebut untuk menutupi kerugian negara yang di maksud. Kalau pernyataan hanya “akan dan akan” maka pernyataan tersebut tak berguna sama sekali. Kita butuh bukti, contoh dan keteladanan. Bukan “akan dan akan” saja.



Saya berharap mantan menteri era SBY tak perlu koar-koar merasa telah berbuat yang terbaik untuk bangsa. Toh kekayaan alam kita selama ini  terus dikeruk orang tanpa memberi sumbangan berarti pada negara atau masyarakat sekitar. Padahal SDA masyarakat setempat terus dikuras dan kesannya menjadi bahan bancakan. Ini salah kita semua. Salah presiden karena dianggap peragu. Salah si menteri karena kurang  inovatif. Salah rakyat juga yang hanya koar-koar setelah pemerintah tak lagi berkuasa dan merasa enggan mengkritisi karena suatu sebab.

Di era perubahan menuju ke arah yang lebih baik ini, sudah saatnya  budaya kritik konstruktif pada pemerintah dikembangkan. Termasuk pada kabinet kerja sekarang. Tak masalah kita kritisi kebijakannya. Itu lebih baik dari pada mereka selalu merasa benar, namun setelah menjadi mantan menteri malah kelak berusaha melakukan pembenaran atas semua kelalaiannya selama menjabat.

Itulah yang disebut ilmu “Ngawurulogi”.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun