Orang itu mencoba memeluk dunia sekuat yang dia bisa. Dia juga ingin membawa lari seisi dunia semampu yang ia bisa. Kewarasannya hanya sampai pada titik di mana dunia benda bisa ada di tangannya hari ini, esok, lusa hingga dia mati.
Dia tidak terlalu peduli apa yang orang lain bicarakan tentang apa yang dilakukannya. Mereka, kata dia, cuma menyimpan rasa iri, dengki, frustasi, dan gagal di dalam hidupnya sebagaimana yang ia peroleh demikian banyak dari dunia ini.
Tapi rupanya orang ini menyadari. Dia salah.Â
Mereka tidak sebagaimana yang dia sangka. Karena mereka bisa dan telah mampu mengapung bersama dunia dengan cara memenjarakan hawa nafsu yang berlebihan yang tumbuh di hati dan pikirannya.
Sementara orang ini takpunya rasa syukur dengan apa yang dipunyai selama hidupnya.Â
Dia terus mencari, menggali, menjilat, mendustai, memantati, bahkan rela menjulurkan lidah oleh apa yang mutlak bakal  ditujunya itu. Â
Hawa nafsunya tidak lagi mampu dibelenggu oleh hati, akal, dan pikirannya.Â
Nafsunya melebihi rasa syukur yang orang lain punya.