Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pukul 02.00 di Jakarta

31 Januari 2021   20:06 Diperbarui: 31 Januari 2021   22:10 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai sopir Bajaj, Zaid merasa senang mendengar kabar, bahwa Jakarta sudah tidak macet lagi. Kabar ini baginya seperti setetes air di gurun sahara, yang airnya itu menetes dari celah-celah batang pohon kurma.

Karena senangnya ia selidik, siapa yang mengabarkan itu. Tanya sana sini akhirnya ia dapati juga informasi siapa yang mengabarkan. Rupanya pejabat gubernur yang ia pilih pada pemilihan kepala daerah kemarin.

Zaid bukannya heran, tapi kagum. Ia menyalahkan pemimpin Jakarta terdahulu, mulai dari zaman Ali Sadikin, hingga Sutiyoso, sampai ke Jokowi, dan Ahok.

Ia bilang-bilang pada tetangga, maupun temannya, entah Karim, Salim, maupun Salman. Katanya, siapa bilang Jakarta macet, itu buktinya jalan di Jakarta sudah lancar, dan plong.

"Apa gue bilang!Untung pemilihan gubernur kemarin gue pilih die."

Karim, Salim, dan Salman tidak menyahut omongan Zaid yang tiba-tiba itu. Ia datangi mereka, kemudian langsung duduk begitu saja di bale pos Ronda di antara ke tiganya.

"Jakarta bebas macet. Mulai hari ini. Hebat gak tuh. Siape dulu gubernurnye!"ucap Zaid dengan bibir di monyongkan ke arah Salim, dan Salman seolah mengejek seterunya yang beda pilihan saat pilkada tempo hari.

Karim yang tidak menyoblos pilkada ketika itu akibat keracunan makan rajungan rebus cuma terkekeh melihat gaya Zaid yang nyeleneh pada dua S tadi.

"Jadi mulai hari ini Jakarta gak macet lagi. Asik emang pak Gub kite ye?!tutur Zaid lagi.

"Lha terus kenape abang gak narik ini hari?tanya Karim santai.

"Orang kate Ndut. Gue meriang dua hari kemarin. Ini sekarang baekan, makanye gue gabung di mari. Pas baekan eh dapet kabar Jakarta gak macet lagi. Besok pagi gw pasti narik lagi."

"Syukur deh, abang udah baekan. Moga besok gak meriang lagi narik Bajaj di Jakarta kite,"seloroh dua S berbarengan seraya nyeruput kopi pait yang Zaid cuma bisa melongo tidak ada jatahnya.

Keduanya termasuk Karim banyak mendengar kebahagiaan Zaid yang optimistis buat esok hari. Sebab dipikirannya, jalanan bakal lancar. Kecepatan bajajnya tiada halangan. Tarik sewa bisa sekali ngebut tiga atau empat penumpang bisa didapat dalam waktu cepat.

Ia hitung-hitung sekali dapat sewa dalam hitungan jarak tempuh yang lima kilo, kebutuhan bahan bakarnya tidak berapa banyak. Waktunya paling lima menit. Kalau empat penumpang saja dalam jarak yang sama, cuma 20 menit. Uang yang diperoleh bisa lumayan untuk kebutuhan istri, anak, sewa rumah. Sisanya pasti bisa ia simpan buat masa pensiun.

Dibanding sebelum ia dapat kabar Jakarta tidak macet lagi. Ketika macet, boro-boro empat penumpang dalam waktu 20 menit. Satu penumpang pada saat tarikan di jam kerja saja sudah lebih dari satu jam. Kadang ia nombok untuk kebutuhan bahan bakar.

***

Esoknya Zaid tampak semangat. Jam setengah tujuh pagi ia stand by. Jam tujuh pagi mulai bergerak dari kediamannya. Mulanya lancar, karena biasa, dari jalan MHT ke jalan utama lengang. Dari jalan utama ia susuri untuk menggaet penumpang, dan dapat akhirnya.

Ia antar kemudian penumpang perempuan berseragam coklat itu. Dari mulai ia angkut hingga perjalanan menuju kantornya sudah padat oleh kendaraan lain. Bajajnya seperti biasa tersendat. Ia heran. Katanya sudah bebas macet tapi ternyata tidak.

"Katanya sudah tidak macet Jakarta,"gerutu Zaid.

"Kata siapa, Bang?"

"Kata gubernur!"Zaid mulai suntuk, dan kesal.

"Yee, si abang. Pak gubernur bilang itu cuma bercanda. Lagian mana ada di Jakarta kagak ada macet."

"Bercanda sih bercanda. Kagak mikir apa sopir bajaj kayak saya, mbak. Denger berita Jakarta gak macet kan saya seneng banget. Mungkin gubernur bisa ngakalin supaya Jakarta gak macet. Eh rupanya cuma bo'ongan,"seru Zaid sembari mengusap keringat di wajahnya dengan handuk kecil lepek.

 Sekitar satu jam kurang baru penumpang sampai di tujuan. Pukul delapan kurang lima menit ia turun, dan membayar ongkos pada Zaid.

"Katanya kalau jam dua pagi gak macet, Bang,"selorohnya seraya meninggalkan Zaid masuk ke gedung Balaikota tempat ia bekerja.

Mendengar itu Zaid berpikir lagi. Jangan-jangan di kantor sekitaran jalan protokol ini banyak juga yang bekerja shif malam. Mungkin mulai dari jam lima sore sampe shubuh. Atau mulai dari jam 10 malam sampai shubuh. Karenanya ia meski aneh, tetap mau mencobanya cari tarikan di jam tersebut.

***

Di rumah ia takhiraukan istri, maupun tetangga. Zaid tetap ingin membuktikan bahwa Jakarta memang sudah tidak macet lagi. Makanya ia meluncur dengan bajajnya mencari penumpang lewat tengah malam.

Zaid melihat pada dini hari itu lampu-lampu masih terang di sepanjang jalan protokol Jakarta. Di gedung-gedung tinggi juga demikian. Lalu lintas, satu dua masih bisa terlihat kendaraan melintas dalam kecepatan tinggi. Sementara di sebrang gedung Balaikota, tugu Monas tampak berkilau emasnya. Di sini sunyi, apalagi di Balaikota, karuan sepi.

Bajajnya kemudian ia kemudikan melintas dengan cepat tanpa halangan. Putar sana putar sini tidak ada orang yang menghentikan bajajnya.

Ia mau marah, ditujukan ke siapa. Mau senang karena tidak ada kemacetan pada siapa juga ditujukan. Sementara sudah satu jam ia keliling cari penumpang tak juga didapat. Waktu sudah jam 03.00 WIB, sebentar lagi azan shubuh.

Di dekat mesjid terbesar, ia hentikan bajajnya. Ia sandarkan tubuhnya di jok belakang sembari angkat dua kaki. Zaid berpikir, memang benar jam dua pagi tidak ada kemacetan. Berarti, pikir Zaid lagi, omongannya gubernur itu meski katanya bernada humor, tapi sesuai fakta.

Faktanya juga memang tidak ada penumpang bajaj yang bisa ia bawa. Kalau tidak ada penumpang yang bisa diangkut, uang juga tidak didapat.

"Terus ngapain juga gue narik bajaj tengah malam begini?"

Zaid tertidur juga di bajajnya. Ia teramat lelah memikirkan nasibnya yang terus menerus dipermainkan oleh jurus kata-kata. Kata-kata yang sesungguhnya ia harapkan bisa menjadi kenyataan untuk membuat Jakarta tidak macet lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun