Mohon tunggu...
Ersa FitriaMahardika
Ersa FitriaMahardika Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Mahasiswi Sosiologi UNEJ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Penyandang Difabel yang Berpendidikan Rendah dalam Mengusahakan Ekonominya

24 November 2022   06:24 Diperbarui: 24 November 2022   06:27 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bekerja merupakan hal yang penting bagi setiap orang. Apapun akan dilakukan agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Begitu pula dengan para penyandang difabel. Keterbatasan yang dimiliki tidak menjadi halangan bagi penyandang difabel untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk bagi Bapak Sugiharto. Beliau merupakan seorang penyandang difabel polio pada kakinya sejak bayi. Meskipun demikian tidak membuatnya patah semangat dalam menjalani hidup. 

Pada saat ini Pak Sugiharto tinggal bersama dengan istri, ibu, dan juga anak semata wayangnya. Beliau menjadi salah satu penyandang difabel yang tidak memiliki pendidikan yang tinggi hanya sampai dibangku SMP. Karena memiliki semangat yang tinggi sekarang beliau sedang menempuh kejar paket C untuk melanjutkan pendidikannya yang sempat terhenti karena faktor ekonomi dari keluarga. Memiliki pendidikan yang rendah membuatnya kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan yang layak, sehingga beliau harus mencari jalan keluar agar tetap dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Sejak kecil Pak Sugiharto sudah terbiasa untuk bekerja keras karena bukan terlahir dari keluarga yang berada. Dimana masa kecilnya dihabiskan untuk membantu orang tuanya di sawah. Pengalaman kerja keras yang dimiliki sejak kecil tersebut membuatnya menjadi seseorang yang tidak mudah putus asa. Sekarang ini kegiatan beliau sehari-hari menjadi seorang tukang tambal ban. 

Sebelum memiliki usaha tambal ban sendiri tepatnya ketika masih duduk dibangku SMP beliau sempat bekerja di bengkel milik temannya cukup lama yang membuatnya memiliki keterampilan dalam menambal ban. Untuk membuka usaha tambal ban pribadi beliau terpaksa harus berhutang untuk membeli alat-alat tambal ban karena harganya yang tidak murah. 

Pendapatan yang tidak pasti dari menjadi seorang tukang tambal ban membuat istrinya harus turut membantu bekerja dengan berjualan sayur di depan rumah. Karena bagaimanapun mereka harus membiayai kebutuhan sekolah anak semata wayangnya dan juga membayar hutang. Dalam mengasah dan meningkatkan skill yang dimiliki beliau sempat mengikuti beberapa pelatihan seperti pelatihan las selama 20 hari yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial dan pelatihan membuat kerajinan dari rotan sintetis yang diadakan oleh koperasi dan masih berjalan sampai sekarang. 

Beliau sempat bercerita bahwasannya ingin meneruskan membuat kerajinan rotan sintetis yang kemudian hasil kerajinannya akan dijual untuk menambah pendapatan, tetapi bahan-bahan untuk membuat kerajinan tersebut susah didapatkan di daerah rumahnya, selain itu harganya juga mahal. Mengenai diskriminasi atau mendapat perlakuan yang tidak baik dari orang lain seperti direndahkan dan sebagainya tentu saja pernah dirasakan oleh Pak Sugiharto karena keterbatasan fisik ataupun karena ekonominya yang rendah, tapi untungnya beliau memiliki keluarga serta lingkungan sekitar yang selalu mendukungnya. 

Jika kita berbicara mengenai para penyandang difabel serta berbagai usaha mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya menjadi hal yang tidak ada habisnya. Berbagai usaha yang dilakukan oleh penyandang difabel ini dapat dianalisis dengan kajian sosiologi seperti dalam buku yang berjudul "Mind, Self & Society" karya George Herbert Mead pada bagian pembahasan mengenai mind dikatakan bahwa realitas sosial yang dilakukan oleh seseorang atau aktor berasal dari pikiran dan mendapatkan dorongan dari luar. 

Misalnya saja ketika Pak Sugiharto sebagai aktor sadar bahwa begitu sulit saat dirinya yang merupakan seorang penyandang difabel dengan keterbatasan fisik diharuskan bersaing dengan masyarakat lain dalam dunia pekerjaan. Kemudian dalam pikirannya beliau sangat pesimis serta tidak adanya usaha, maka yang terjadi beliau tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun sebaliknya, apabila Pak Sugiharto sebagai aktor yakin bahwa beliau dapat memenuhi kebutuhan hidupnya di tengah keterbatasan yang dimiliki dan dibarengi dengan usaha, maka yang terjadi akan sama seperti yang dipikirkan yaitu beliau dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Mead juga mengatakan bahwa apapun yang ada dalam pikiran seseorang akan terjadi apabila terdapat sebuah kebutuhan. Karena adanya tuntutan kebutuhan ekonomi membuat Pak Sugiharto harus mulai berpikir mencari cara agar kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi, yang akhirnya beliau merealisasikan pikirannya tersebut dengan membuka usaha sendiri dengan modal keahliannya dalam menambal ban.

Masih banyak kaum difabel yang tidak bisa merealisasikan kemampuan atau keahlian mereka karena masih memiliki rasa minder dan terjebak dalam pikiran bahwa mereka tidak akan bisa seperti orang pada umumnya. Penyandang difabel yang seperti demikian sangat membutuhkan banyak support dari lingkungan terdekatnya. Agar mereka dapat lebih percaya diri dalam menunjukkan kemampuan yang mereka miliki. 

Penulis:

 1. Chubab 'Ainul Yaqin Al Ghifari 200910302100 

2. Raniah Syifa 200910302119  

Editor : Ersa Fitria Mahardika 200910302152

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun