Mohon tunggu...
ERRY YULIA SIAHAAN
ERRY YULIA SIAHAAN Mohon Tunggu... Penulis, guru, penikmat musik dan sastra

Menyukai musik dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri Penyu pada Bulan Ketujuh

12 Mei 2025   23:31 Diperbarui: 14 Mei 2025   04:28 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: https://www.freepik.com/)

Pikiran Dafi menggerayangi foto-foto dan tulisan pada dinding. Nalarnya terkuras. Tak satupun muncul garis yang diharapkan. Garis yang mampu menggiringnya pada kesimpulan, siapa orang yang bertanggung jawab atas tewasnya lima warga di kota Unala.

Tidak ada petunjuk berarti, kecuali bahwa huruf-huruf awal dari nama kelima korban membentuk kata "PENYU".  Akronim yang sama seperti insiden selama empat tahun  sebelumnya.

"Apa yang terlewat di sini?" batin Dafi.

Detektif ini sudah seminggu berada di Unala bersama isteri dan putranya, Japar. Harapan untuk berlibur ke kota kelahirannya bersama keluarga yang komplit, kali ini terkabul.

Dafi bahagia sekali. Hanya saja, dia harus bertarung dengan misteri pembunuhan berantai yang kali ini terjadi di Unala.

***

Puria, Utasi, Yogil, Encup, dan Noris adalah nama lima korban pertama. Dua perempuan dan tiga laki-laki. Ada yang sudah berkeluarga, ada yang lajang.

Jasad mereka ditemukan di tempat terpisah. Di dalam rumah. Banjir darah. Polisi menduga, korban tewas setelah kehabisan darah.

Keserupaan antarkorban adalah pada luka menganga di leher, menebas arteri karotis dan vena jugularis - dua pembuluh darah besar yang letaknya berdekatan di leher dan amat fatal.

"Luka karena senjata tajam. Mungkin ditembakkan, tepat sasaran, sehingga tidak memberi kesempatan bagi korban untuk berteriak minta tolong," ujar dokter forensik.

"Berarti dari jarak relatif dekat tapi pelaku tak terlihat," tutur Defi setengah berbisik menilai kemungkinan insiden terjadi di dalam rumah.

Rekonstruksi rekaan menggiring polisi pada dugaan korban selekasnya memegangi leher yang tersayat. Mereka fokus pada rasa sakit, juga panik akibat darah yang terus mengucur, tanpa antisipasi. Korban terhuyung-huyung, terlihat dari jejak darah dari titik awal ke ruang lain.

Ada yang mati di tempat. Barangkali korban sedang sendirian di rumah dan bersitegang nyawa tanpa pertolongan. Ada yang mati di rumah sakit setelah keluarga menemukan korban terluka dan sempat membawanya ke unit gawat darurat tapi tak tertolong.

"Ibu tergeletak di dekat lemari makan. Mungkin mau mengambil kain bersih buat menahan darah," kata Suci yang mendapati ibunya, Puria, yang lemah, memegangi lehernya yang berdarah. Tetesan darah terlihat di lantai ruang tamu, koridor depan toilet, hingga dapur.

Puria sempat dilarikan ke rumah sakit, tapi tak terselamatkan.

Seluruh desa, kota Pruni, bahkan segenap negeri geger karena insiden ini. Polisi menugaskan Defi untuk memimpin penyelidikan. Detektif ini cukup gemilang mengungkap banyak kasus pembunuhan sebelumnya.

Seperti biasa, Defi mulai menyusun foto-foto korban pada dinding ruang kerjanya di kantor dan di rumah. Dia juga menempelkan foto temuan dari situs forensik serta membuat tulisan yang relevan untuk membantu mengungkapkan misteri. 

Tidak ada kesamaan berarti dalam riwayat korban. Kalaupun ada, itu beberapa dan belum terindikasi ada keterkaitan. Dalam foto-foto di situs forensik terlihat adanya luka pada leher, tumpahan darah,  jemuran di rumah. Waktu kejadian juga hampir sama, akhir Juli atau awal Agustus. 

Apakah ada hubungannya dengan musim liburan kuliah dan kerja? Bagaimana dengan barang-barang di jemuran, seperti kaos, handuk, celana pendek dan panjang, serta pakaian dalam? Apa arti sayatan di leher?

"Apakah jemuran ini bisa menjadi petunjuk? Tapi, bagaimana mengaitkannya?" tanya Defi kepada anggota timnya pada suatu rapat. Semua menggeleng.

Di kota itu, seperti halnya di tempat lain, lumrah saja penduduk menjemur pakaian. Siang atau malam.

Tidak seperti pada kasus-kasus yang pernah ditanganinya, kali ini Defi seperti berlari di tempat. Tak ada garis berarti yang membawanya pada jawaban yang diharapkan. Namun dia dan timnya yakin, korban dipilih secara acak tanpa memandang jenis kelamin, usia, status ekonomi, atau semacamnya. Ini tanpa mengurangi perkiraan bahwa ada kesamaan antarkorban yang membuat pelaku meluapkan kekejiannya.

Sejumlah saksi sudah dimintai keterangan. Tak ada yang kuat untuk dijadikan tersangka. Laporan hasil uji materi genetik DNA atau asam deoksiribonukleat memperkuat hal itu.

***

Tiap kali ada temuan, Defi menelusuri, tapi buntu. Upaya yang dilakukan terus merayapi waktu. Nyaris terabaikan hingga pembunuhan lima warga terjadi lagi pada tahun  berikutnya. Kali ini di kota Endura.

Pada tahun kedua ini, Defi yang pamornya sudah berkelas nasional diterbangkan ke Endura buat membantu penelusuran kasus.

Kali ini ada kemajuan. Defi menemukan inisial yang sama dari nama-nama lima korban, yaitu P, U, Y, N, dan E. Akronim yang paling masuk akal dan bermakna adalah PENYU. 

"Apa hubungan PENYU dengan kesamaan Juli Agustus dan jemuran, Pak?" tanya seorang anggota tim. Defi menggeleng.

Tahun ketiga terjadi insiden di Nosilu, kota kecil agak ke barat dari Pruni. Tahun keempat di Yerabi. Seperti dugaan Defi, nama-nama korban berakronim PENYU. Namun, tetap tidak ada petunjuk ke arah pelaku. Semua saksi lolos dari praduga. Alibi berbicara. Hasil uji DNA menguatkan.

***
Bisik-bisik terkait misteri berubah menjadi topik jelas dalam suara keras. Di kafe, di pasar, di sekolah, di rumah-rumah, di angkutan umum.

"Pak, buku Bapak ketinggalan," ujar seorang pria setengah baya kepada Defi di sebuah kafe.

"Terima kasih, Pak," balas Defi sembari menerima buku dari tangan Golai, yang kemudian menjadi teman bicaranya beberapa menit kemudian.

Defi tak jadi pulang, membiarkan dirinya tertahan oleh tawaran Golai untuk menikmati lagi satu cangkir kopi lezat, andalan kafe. Mereka berkenalan.

Golai adalah warga asing. Dia lahir dan dibesarkan di China. Dia ke Unala untuk keperluan bisnis dan mengaku selekasnya terbang lagi ke kota lain.

"Buku bagus," ujar Golai menatap buku merah bertajuk "Tradisi China: Antara Mitos dan Etos".

"Kelihatannya iya," tutur Defi yang merasa pernah melihat Golai entah di mana. 

Defi membawa buku itu dari rumah dengan niatan akan membacanya di kafe sembari menyeruput kopi panas. 

"Aku perlu relaks," batin Defi. 

Tapi di kafe, pikirannya tersita terus oleh misteri PENYU, Juli-Agustus, dan jemuran. Dia memutuskan pulang dan akan membaca buku itu di rumah sembari rebahan. Tentu saja jika Japar mengizinkan. Putranya itu membawa bacaan tersebut sebagai teman liburan. Atas saran dosen, Japar ingin memperkaya kapasitas literasinya. Dengan harapan, sehabis liburan, memasuki semester baru, dia lebih siap menghadapi kelas-kelas kuliah pada program studi Sastra China. Baru kali ini dia bisa liburan ke Unala. Masa liburan kampusnya bertepatan dengan masa liburan kerja ibunya dan kebiasaan cuti ayahnya.

***

Defi melongo. Matanya terbelalak usai membaca bab "Bulan Ketujuh". Buku itu dilahapnya sampai fajar.

Bulan Ketujuh dalam kalender China jatuh pada kisaran Juli-Agustus. Pada hari ke-15 Bulan Ketujuh, warga yang percaya dan menghormati tradisi itu ditabukan untuk melakukan sejumlah kegiatan, seperti pesta nikah dan menjemur pakaian dalam di luar rumah.

Matahari belum sungguh-sungguh berbagi sinarnya, tatkala Defi segera menelepon anak buahnya, tim penyidik di lima kota, untuk ke kantor. Bersinergi menelusuri data tentang kemungkinan orang asing dengan riwayat tradisi China di lima kota tempat pembunuhan terjadi. Pastinya, bekerjasama dengan pihak imigrasi. 

Mobil Defi meluncur ke alamat Golai. Dia ingin berdiskusi dan menjajal sejumlah dugaan yang muncul usai membaca buku merah itu.

"Zhongyuan Jie atau Bulan Hantu atau Qiyue merupakan masa untuk terbukanya gerbang antara yang hidup dan yang mati. Roh-roh dan hantu kembali ke bumi. Bulan ini juga adalah momen untuk terkumpulnya pahala dari amal baik selama hidup di gudang-gudang amal di surga," demikian Defi membunyikan tulisan dari buku itu dalam benaknya.

Pikirannya berlomba dengan rasa girangnya di antara memori tentang jemuran, Juli-Agustus, dan penyu - salah satu hewan ikonik untuk Bulan Ketujuh. Garis-garis relasi yang dicarinya selama ini mulai terlukis pekat di benaknya. 

"Penyu adalah hewan simbolik untuk perayaan Bulan Ketujuh. Tanda penghormatan terhadap leluhur. Juga lambang harapan umur panjang dan berkah melimpah." Defi seperti mendengar lagi dan lagi kata-kata ini dalam pikirannya. 

Apakah PENYU menunjukkan penolakan pelaku atas ketidakhormatan korban pada harapan umur panjang dan berkah melimpah? Peringatan buat khalayak agar jangan main-main dengan tradisi? Untuk diseminasi pernyataan pelaku tentang penyu yang perlu diingat dalam Bulan Ketujuh?

Sebegitu terobsesinyakah pelaku sampai sekeji itu? Mengapa? 

Defi tiba. Golai sudah keluar dari penginapan. 

Di belakang meja resepsionis, di salah satu loker terbuka di bagian hilang-temu hotel, terlihat sebuah patung kecil penyu merah. Dari jauh Defi berusaha menangkap tulisan pada tubuh benda itu. Qiyue. ***

***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun