Mohon tunggu...
Erry Yulian Triblas Adesta
Erry Yulian Triblas Adesta Mohon Tunggu... Dosen - indiHome

Erry adalah seorang yang sangat mencintai (has a great passion) dan mengenal dengan sangat baik (very familiar) dunia pendidikan di berbagai strata, khususnya di Indonesia, Malaysia dan Inggris. Hal ini terbukti dengan berbagai aktifitas yang digelutinya di dunia pendidikan antara lain sebagai Komite Sekolah SMA Negeri 78, Jakarta Barat, Wasekjen ABPPTSI, Penasehat PPI-IIUM,dll. Sepanjang karirnya sebagai dosen di tanah air, Erry telah terlibat secara aktif dalam berbagai kegiatan Dikti antara lain sebagai asesor Badan Akreditasi Nasional – Perguruan Tinggi (BAN-PT), reviewer Penelitian Hibah Bersaing, reviewer Program Hibah Kompetisi Institusi (PHKI), trainer Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan lain-lain. Pada saat ini Erry adalah seorang Deputy Dean (Postgraduate & Research) Faculty of Engineering, InternationalIslamic University Malaysia (IIUM).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

"Harga” Dosen Naik, Peringkat Universitas Turun?

25 Oktober 2014   16:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:47 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tulisan Rhenald Kasali (Kompas.com, Senin 15 September 2014) yang berjudul: Naiknya “Harga” Dosen, cukup menarik untuk ditanggapi. Sebagai seorang Guru Besar Ilmu Manajemen yang sudah tersohor di tingkat nasional pendapat beliau mengenai naiknya “harga” dosen beserta implikasinya tentu cukup valid. Namun demikian saya merasa tulisan tersebut menjadi kurang bermakna ketika diarahkan hampir semata-mata untuk menyampaikan pesannya agar para Rektor Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) bekerja lebih cerdas menggali dana-dana baru di luar Biaya Operasional Pendidikan (BOP) dan pengelola Yayasan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) berpikir lebih keras untuk menyediakan sumber-sumber dana baru untuk mempertahankan dosen-dosen berkualitas. Di lain pihak pada waktu yang hampir bersamaan dengan tulisan tersebut, Quacquarelli Symonds (QS) World University Rankings 2014/2015 diumumkan. Ternyata  dari 8 (delapan) perguruan tinggi Indonesia yang masuk dalam radar QS World University Ranking, 6 (enam) “berhasil” mempertahankan peringkatnya pada posisi yang sama dengan tahun lalu, sedangkan 2 (dua) perguruan tinggi, Universitas Indonesia (UI) turun satu peringkat dari peringkat 309 tahun 2013 menjadi 310 pada tahun 2014 dan demikian juga dengan Universitas Gajahmada (UGM) melorot dari peringkat 501-550 pada tahun 2013 menjadi 551-600 pada tahun 2014. Sekedar catatan sejak tahun 2009 ternyata menurut hystorical data yang tercatat pada QS World University Ranking, peringkat UI setelah naik dari peringkat 395 (2007) ke 287 (2008) dan 201 (2009) terus secara konsisten turun setelah tidak ada catatan pada 2010, ke 217 (2011), 273 (2012), 309 (2013) dan 310 (2014). Walaupun banyak pejabat di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, khususnya yang berkaitan dengan urusan Pendidikan Tinggi mengatakan tidak terlampau memperdulikan “rungkang-rangking” ini, namun mau tidak mau ini adalah salahsatu barometer global yang dipergunakan hampir oleh seluruh perguruan tinggi papan atas untuk menilai unjuk kinerja masing-masing di tingkat internasional. Sebab itu tulisan ini mengambil judul seperti di atas.

Kemakmuran dan kinerja dosen

Pada kenyataannya memakmurkan dosen semata-mata tidak berkorelasi secara langsung terhadap kinerja dosen. Ketika pemerintah, berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor, memberikan insentif yang cukup besar kepada dosen tidak serta merta hal ini berdampak terhadap kinerja dosen, apalagi terhadap kinerja perguruan tinggi yang bersangkutan. Bahkan kalau boleh meminjam data yang telah dipublikasi QS World University Ranking, sejak 2009, dari 8 (delapan) perguruan tinggi Indonesia yang masuk radar QS semua turun peringkat dan kemudian stagnan. Sementara itu di bidang publikasi ilmiah, menurut pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Indonesia pun tertinggal jauh, bahkan hanya sekitar sepertujuh bila dibandingkan dengan publikasi ilmiah dari negara jiran Malaysia. Hal ini pulalah yang membuat Dirjen Dikti mengeluarkan surat edaran no: 152/E/T/2012 yang memberlakukan ketentuan kewajiban menghasilkan makalah sebagai syarat kelulusan bagi mahasiswa Strata 1 sampai dengan Strata 3. Seperti dapat dibayangkan surat tersebut akhirnya menuai kontroversi dan kehebohan di kalangan akademisi. Sampai saat ini dampak surat edaran tersebut nampaknya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah publikasi karya ilmiah di Indonesia. Mungkin satu hal yang terlupakan ketika surat tersebut dikeluarkan yaitu kenyataan bahwa tanpa ditopang dengan kegiatan riset yang menghasilkan luaran yang layak, maka mewajibkan mahasiswa untuk menulis makalah hanya akan mendorong para peserta didik untuk mengambil jalan pintas, salahsatunya yaitu melakukan plagiat. Jadi sangat jelas dalam hal ini menaikkan “harga” dosen tidak serta merta akan menaikkan kinerja dosen.

Peraturan Dosen Non Pegawai Negeri Sipil dan Dosen Tetap

Kembali pada tulisan Rhenald Kasali tersebut di atas lebih lanjut beliau juga mengatakan bahwa Permendikbud no 84/2013 merupakan konsep penataan Perguruan Tinggi yang memberi value yang lebih baik bagi para dosen. Menurut saya ini merupakan suatu pernyataan yang juga kurang tepat. Betapa tidak? Dengan ikut sertanya pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, “mengelola” dosen perguruan tinggi yang jumlahnya sekitar 270.000 orang dan tersebar di lebih dari 3100 perguruan tinggi merupakan suatu langkah “penataan” Perguruan Tinggi yang sungguh susah dibayangkan apa yang menjadi tujuan utamanya. Alih-alih menyusun langkah strategis dan menetapkan arah dan tujuan pendidikan tinggi, Kemendikbud melalui Dikti nampaknya memposisikan diri dan berperan menjadi “universitas” terbesar di dunia yang berisikan lebih dari 3100 perguruan tinggi di dalamnya. Bayangkan jika instrumen yang namanya Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) atau Nomor Induk Pengajar Nasional (NIPN) dipergunakan untuk “mengikat” kaum intelektual yang disebut dosen agar selalu “loyal” kepada satu perguruan tinggi induknya dengan beban minimum 12 sks untuk mendapatkan status dosen tetap. Sedangkan mungkin dosen yang bersangkutan adalah seorang dosen yang ilmu dan kompetensinya sangat mumpuni dan diperlukan tidak saja di dalam negeri bahkan mungkin sampai ke manca negara. Ini tentu bertolak belakang dengan semangat ASEAN Free Trade Area (AFTA) dimana secara jelas dicantumkan bahwa salahsatu program utama untuk bidang pendidikan adalah Student dan Staff Mobility. Saya menjadi bertambah kagum ketika saya telusuri pasal demi pasal dari Permendikbud dimaksud. Secara implisit semangatnya menuju pengkaderan dosen professional yang dimulai sejak mereka menyandang Strata 2 bahkan mungkin sejak Strata 1. Jadi skenario yang akan dan telah mungkin terjadi begini, almamater sebuah perguruan tinggi merekrut alumninya untuk menjadi dosen. Maka setelah lulus Strata 1 calon dosen tersebut melanjutkan ke Strata 2 dan kemudian langsung ke Strata 3. Setelah selesai Strata 3 jadilah dia menjadi dosen di almamaternya. Dari beberapa dosen tersebut kemudian ada yang mendapat tugas sebagai pejabat struktural, mulai dari Ketua Program Studi, Sekretaris Jurusan, Ketua Jurusan, kemudian Wakil Dekan, Dekan, sampai dengan Wakil Rektor bahkan Rektor. Ada hal yang menarik dari cara memberi penugasan ini yang pada umumnya menjadi kebiasaan di banyak universitas yaitu memberikan tugas administratif kepada dosen dengan kualifikasi akademik atau jabatan akademik tertinggi di domain tersebut. Atau belakangan ini ada yang lazim dilakukan yaitu melakukan pemilihan yang katanya supaya lebih “demokratis”. Padahal pada setiap akhir jabatan sang dosen yang mengemban jabatan struktural tersebut tidak pernah memberikan laporan pertanggungjawaban kepada “rakyatnya”. Lengkaplah sudah, dimulai dengan proses rekrutmen dosen yang cenderung dari alumni sendiri (in-breeding), dilanjutkan dengan pemilihan pejabat struktural dengan semangat “korsa” yang tinggi, dapat dibayangkan kualitas “leadership” seperti apa yang akhirnya didapatkan. Kalau perguruan tinggi tersebut kebetulan sebuah perguruan tinggi yang memang sudah melaju kencang maka kecepatannya akan cenderung stagnan, sedangkan kompetitornya di luar sana semakin menambah akselerasi sehingga akan semakin jauh melaju meninggalkannya. Hal ini salahsatunya disebabkan karena absennya “leadership” yang memiliki kompetensi manajemen perguruan tinggi yang mumpuni dan teruji, dan bukan hanya sekedar figur seorang dosen favorit, motivator ulung atau selebriti terkenal. Maka sangat disayangkan ketika “harga” dosen sudah naik pun peringkat universitas tetap saja turun dan itu fakta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun