Mohon tunggu...
Erni Wardhani
Erni Wardhani Mohon Tunggu... Guru - Guru, penulis konten kreator (Youtube, Tiktok), EO

Guru SMKN I Cianjur, Tiktok, Youtube, Facebook: Erni Wardhani Instagram: Erni Berkata dan Erni Wardhani. Selain itu, saya adalah seorang EO, Koordinator diklat kepala perpustakaan se-Indonesia, sekretaris bidang pendidikan Jabar Bergerak Provinsi, Pengurus Komunitas Pengajar Penulis Jawa Barat, Pengurus Komunitas Pegiat Literasi Jawa Barat, Pengurus IGI kabupaten Cianjur, sekretaris Forum Kabupaten Cianjur Sehat, Founder Indonesia Berbagi, Tim pengembang Pendidikan Kantor Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VI Provinsi Jawa Barat, Humas KPAID Kabupaten Cianjur.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seragam Sekolah Pemicu Perpecahan

11 Februari 2017   13:26 Diperbarui: 11 Februari 2017   13:38 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pagi ini, saya menonton berita di televisi. Kalau mau dikatakan, semua stasiun televisi selalu tidak lupa untuk menyuguhkan berita berita yang sedang hangat terjadi. Salah satunya tentang perbedaan perbedaan yang ada di Indonesia. Entah itu silang pendapat tentang agama, tentang  suku, politik dll.
Saya kok jadi suudzon, betapa kita sulit menerima perbedaan: perbedaan pandangan dan pilihan, barangkali, utamanya, adalah kesalahan sejak awal sewaktu kita bersekolah. Di sekolah, TK-SD-SMP-SMA/SMK, kita diajari tentang keberagaman, tentang kebhinekaan, tentang perbedaan, tentang toleransi, tetapi pada saat yang sama kita diwajibkan memakai seragam sekolah! Ya pakaian sekolah kita, semenjak dulu, dari saya TK, sama warnanya, sama modelnya, bahkan hingga sepatu, topi dan ikat pinggang! Dua hal yang berseberangan di sini.Identitas yang seragam ini, saya rasa yang membuat kita sulit untuk menerima keberagaman. Siswa seolah terkotak kotak. Walau pas SLTA, kita masih bisa curi curi peluang supaya ada sedikit pembeda, dengan membeli sepatu, dengan warna yang dianjurkan, tetapi merk yang hanya orang orang tertentu yang paham kalau harga sepatu itu selangit. Di satu sisi , saya akui, bahwa baju yang diseragamkan, akan membuat siswa tidak terlihat lagi,  mana kaum "the have" dan yang mana kaum menengah ke bawah. Tidak akan ada pamer baju "bebas" ke sekolah, si kumal vs si mentereng. Di sisi lain, saya membayangkan seandainya siswa diperbolehkan bersekolah dengan pakaian bebas, tetapi sopan dan tidak seragam. Agar pola pikir untuk menerima perbedaan sudah terbuka sejak awal dimulai saat mengenakan baju hendak pergi bersekolah di pagi hari. Barangkali untuk yang di kota kecil, tidak akan terlalu menjadi masalah....di kota besar, dapat dipastikan timbulnya persaingan mode antara  si kaya versus si kismin, dan akan menjadi issue baru. Orang tua jelas dirugikan dengan dibebaskannya anak berseragam bebas, karena pasti anak mereka akan memakai baju jagoannya, dan biasanya baju jagoannya itu tidak banyak, sehingga, permintaan anak meningkat, ...dilematis, tidak dipenuhi, salah juga, karena kasihan kepada anak, dan juga tabu bagi sebagian orang tua, tidak mendandani anaknya sekece mungkin. Sad but true..., belum lagi kalau ada tawuran, susah sekali untuk melacaknya.... So...Anda setuju yang mana? Penulis adalah anggota Komunitas Pegiat Literasi Jawa Barat

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun