Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Politik Uang, Politik Hasrat

20 Desember 2023   12:46 Diperbarui: 9 Februari 2024   09:50 830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Mural yang berisi tentang imbauan menolak politik uang. (Foto: KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Dalam hal ini, demokrasi bukanlah motif, melainkan pembebasan hasrat dalam politik uang. Semakin kuat seseorang dan institusi untuk melakukan pembebasan hasrat dari lingkaran politik uang, semakin muncul kekuatan hasrat yang lain. 

Karena itu, pendidikan politik jangka panjang begitu berguna untuk membebaskan warga negara dari politik pembodohan melalui uang yang “membajak” demokrasi.

Jadi, bukanlah pembebasan hasrat dalam politik, melainkan pembebasan politik uang dalam hasrat. Bagaimanapun juga, uang yang menggoda. Ia membujuk rayu dengan caranya sendiri. Ia diciptakan dengan strategi pembujukan yang dimainkan oleh masyarakat pemilih supaya tidak terjatuh dalam kehampaan yang sekian kalinya.

Memang betul uang bukan segala-galanya. Beberapa tahun yang silam, saya bersama master of campaign dan kawan-kawan relawan dalam perhelatan Pilkada. Oleh kawan mengatakan bahwa uang hanya salah satu faktor kemenangan, bukan faktor tunggal kemenangan.

 Tetapi, orang-orang mulai menduga-duga, politik uang bukan hanya suatu rezim pertukaran, artikulasi, dan distribusi kepentingan, tetapi juga pemenuhan hasrat dalam ekonomi uang yang menggiurkan begitu banal dan mengkuatirkan dalam masyarakat. Nalar sebagai “pusat” ternyata tidak kuat dihadapan uang. 

Pemilih bahkan tim sukses bisa keok saat tergoda uang. Dalam hal ini, uang menjadi tanda hasrat. Ada logika lain yang bergerak di luar dan mengambil-alih nalar, yaitu hasrat untuk menentukan pilihan politik dari masyarakat yang terindividualisasi.

Kerancuan mereka nampak antara struktur pemilih dan yang dipilih dalam pemilu membuat masyarakat cenderung berpikir serba simplisitas. Masyarakat di tingkat bawah begitu sederhana cara berpikirnya. 

Saya teringat istilah Profesor Kuntowijoyo, yaitu ‘masyarakat konkrit’. Mereka tidak butuh ceramah panjang. Asap dapur mengepul jauh lebih penting daripada hal yang muluk-muluk. Bagaimana mereka menjalani hidup untuk saat ini. ‘Berpikir’ belakangan untuk esok.

Pada satu pihak, pergerakan aliran hasrat begitu bebas tanpa akhir ke setiap arah. Saya kira, ketika berada dalam tanda bahaya politik uang yang mengambang bebas, maka semestinya hasrat massa tidak turut mengambang bebas. 

Muncul pertanyaan. Mudah diucapkan, tetapi tidak enteng menjawabnya. Mengapa terjadi politik uang dan apa yang mendorongnya? Taruhlah misalnya, terdapat kelompok masyarakat secara ekonomi berada di bawah garis kemiskinan akan menjadi sasaran politik uang.

Serangkaian “keluarga miskin,” “elite politik,” dan “cukong politik” akhirnya berada dalam proses penanaman ketidaksadaran sebagaimana aliran hasrat seiring dengan aliran uang yang mengambang bebas dalam politik kuasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun