Orientasi pemikirannya dalam hal ini lebih nampak berusaha untuk memurnikan keesaan Tuhan dari arti banyak. Menurutnya, akal dan jiwa adalah dua hal yang berbeda.
Akal yang dimaksudkannya disini adalah akal murni atau intellect par excellence. Ia terpisah dari jiwa dan keadaannya pun berbeda. Dia selalu bertindak dan tindakannya itu tidak bisa dicapai dengan perasaan (esetoris).
Adapun jiwa terdiri dari tiga akal lainnya. Pertama adalah akal dalam bentuk potensi semata. Yang kedua adalah akal yang mempunyai pengetahuan. Sedangkan akal ketiga adalah akal yang selalu tampil dan muncul mengerjakan pekerjaan berpikir.
Al-Razi. Sesudah al-Kindi, filsuf berikutnya adalah al-Razi (856-925 M). Dia adalah sosok lelaki berdarah Persia yang memandang filsafat sebagai keseluruhan jalan hidup, entah itu pengetahuan maupun perilaku.
Dia berani melukiskan suatu kehidupan filosofis sebagai kehidupan “mirip Tuhan.” Filsafat baginya bukanlah sekedar hobi, pengisi waktu luang atau serangkaian teka-teki yang dipecahkan sambil menjalankan bagian lain dari kehidupan. Sang tokoh ini lebih memandang istimewa pada sosok Plato sebagai “guru” filsafatnya. Dia percaya bahwa akal adalah piranti untuk menentukan kebenaran yang utama. Jika saja ada akal yang bertentangan dengan wahyu, maka wahyu harus ditundukkan pada akal.
Al-Farabi. Filsuf muslim lainnya adalah Abu Nasr Muhammad Al-Farabi (870-950 M).
Dalam tulisan-tulisannya, kerangka pemikirannya cenderung berusaha memadukan corak filsafat Aristoteles dan Neoplatonisme dengan pemikiran keislaman mazhab Syiah Imamiyah.
Menyangkut penciptaan alam, al-Farabi mengembangkan konsep esensi dan eksistensi Aristotelian dengan memberi pembedaan antara pengada yang niscaya (wajib al-wujud li dzatihi/ wujud mutlak) dan pengada yang kontingen (wajib al-wujud li ghairih/wujud mungkin). Wujud-mungkin adalah makhluk yang menjadi bukti adanya wujud mutlak, yaitu Allah.
Dalam teori emanasi (al-faidl) tersebut, Tuhan dilukiskan oleh al-Farabi sebagai yang sama sekali Esa dan karenanya tidak terdefinisikan. Menurutnya, definisi hanya akan menisbatkan batasan dan susunan atas Tuhan yang itu mustahil bagi-Nya. Tuhan itu adalah substansi yang azali, akal murni yang berfikir dan sekaligus difikirkan. Dia adalah aql, aqil, dan ma’qul sekaligus. Karena pemikiran Tuhan tentang diri-Nya semacam ektase, suatu energi yang begitu dahsyat, maka energi itu yang menciptakan sesuatu.
Yang diciptakan oleh pemikiran Tuhan tentang diri-Nya itu adalah Akal I. Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang Esa. Dalam diri Akal I inilah mulai terdapat arti banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya sendiri.
Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berpikir tentang Tuhan dan menghasilkan Akal dan berpikir tentang dirinya sendiri dan menghasilkan benda-benda langit lainnya, yaitu: Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus; Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter; Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars; Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari; Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus; Akal VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri; Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan; dan Akal X menghasilkan hanya Bumi. Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan Akal.