Aliran ini dalam banyak pemikirannya menjadikan kala sebagai sumber pengetahuan utama tentang kewajiban serta kebaikan dan keburukan. Sedangkan wahyu (teks agama) sebagai pendukung kebenaran akal. Apabila terdapat pertentangan antara keduanya, maka wahyu perlu ditakwilkan (dengan penalaran rasional). Seperti menyebutkan bahwa Allah mustahil dapat dilihat dengan mata telanjang di akhirat, tidak ada siksa kubur, Al-Qur’an adalah makhluk, keniscayaan atas Allah untuk berbuat baik dan yang terbaik (al-shalah wa al-aslah).
Asyariyah. Aliran Asyariyah ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran-aliran yang muncul sebelumnya. Penamaannya dinisbahkan pada Abu Hasan Ali al-Asy'ari  yang semula sebagai sosok pengikut Mu'tazilah. Aliran ini berusaha menghidupkan kembali pemahaman keagamaan pada Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagaimana yang dipahami dan dipraktekkan oleh generasi salaf tetapi dengan mempergunakan argumentasi bercorak  kalamiyah.
Pemikirannya diantaranya mencakup: (i) Menerima khabar ahad dalam bidang akidah; (ii) Iman adalah tasdiq (pengakuan, afirmasi atau pembenaran) dengan hati, lisan, dan perbuatan; (iii) Iman bersifat fluktuatif, bisa bertambah dan berkurang (yazid wa yanqus); (iv) Pelaku dosa besar tetaplah seorang  mukmin selama mengimani Allah dan Rasul-Nya, hanya saja ia 'asi atau mukmin yang berbuat maksiat. Perkara dosanya diserahkan sepenuhnya kepada Allah di akhirat kelak.
Maturidiyah. Aliran ini dinisbahkan kepada Imam al-Huda Abu Mansur Muhammad bin Muhammad al-Maturidi dari Samarkand.
Dari segi pemikirannya, al-Maturidi banyak memiliki kesamaan dengan al-Asy'ari, sekalipun ada beberapa perbedaan cukup signifikan antara keduanya. Misalnya terkait dengan persoalan tentang ma’rifah (mengetahui Allah). Asyariyah menganggapnya wajib berdasarkan syara’, sedangkan Maturidiyah melihat kewajiban manusia bisa dicapai melalui penalaran akal. Maturidiyah menerima kemampuan akal yang bertujuan untuk menilai kebaikan sesuatu berdasarkan substansinya.
Dari sini dapat diketahui bahwa Maturidiyah memberikan otoritas lebih besar terhadap akal manusia dibandingkan dengan Asy'ariyah. Sekalipun demikian, pemikiran keagamaan Maturidiyah senantiasa menjadikan dalil-dalil syara' sebagai rujukan dan bingkai penafsirannya.
Maturidiyah dengan redaksi berbeda lebih cenderung sejajar dengan pemikiran Mu'tazilah yang menyatakan bahwa dalam tiap perbuatan-Nya pasti terdapat hikmah dan tujuan karena mustahil Allah Yang Maha Bijaksana sampai berbuat iseng-iseng dan kesia-siaan.
Maturidiyah memberi pengakuan bahwa hamba memiliki potensi kebebasan dalam kasb. Dengan potensinya itu, maka manusia bebas memilih untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu. Dalam perbuatan semacam itulah, kebersamaan dengan penciptaan Allah mutlak terjadi.
Berbicara sifat-sifat Allah, Maturidi sejalan dengan Mu'tazilah bahwa sifat-sifat tersebut tidak memiliki eksistensi mandiri yang berada di luar Dzat-Nya. Padahal Asy'ariyah justru berpendapat bahwa sifat-sifat Allah memiliki eksistensi sendiri di luar dzat-Nya. Hanya saja dia sepakat dengan Asyariyah bahwa Allah dapat dilihat oleh mata manusia penghuni surga di hari kiamat.Â
Mengenai eksistensi Al-Qur'an, Maturidiyah menyifatinya sebagai hal baru, tetapi dia tidak menyebutnya makhluk. Ini berbeda dengan Mu'tazilah yang menegaskan kemakhlukan Al-Qur'an dan Asyariyah yang menyifatinya bukan makhluk tetapi tidak menyatakannya qadim. Sedangkan kalam dilihat oleh Maturidiyah sebagai salah satu sifat Allah yang melekat dengan zat-Nya.Â
Terhadap ayat-ayat sifat yang mutasyabih, Maturidiyah memilih melakukan takwil dengan membawanya kepada arti yang muhkam dengan tetap menghindari jebakan antropomorfisme.