Mohon tunggu...
Ermansyah R. Hindi
Ermansyah R. Hindi Mohon Tunggu... Lainnya - Free Writer, ASN

Bacalah!

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kaget karena Sepi dari Partisipasi Publik

5 Januari 2023   17:33 Diperbarui: 5 Maret 2023   19:22 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustari saat Perppu Ciptaker diterbitkanoleh pemerintah (Sumber gambar: liputan6.com)

Mereka kaget, lebih kaget kami yang awam. Disebut di media saja soal naskah UU Cipta Kerja setebal lebih seribu halaman sudah pening. Apalagi usul ini dan itu. Belum termasuk sepinya partisipasi publik atas Perppu Cipta Kerja No. 2/2022 lantaran berkesan tancap gas. Perppunya dirampungkan di akhir tahun 2022.

Jadi, bukan soal jumlah halaman dan bisa atau tidak dokumen regulasi cipta kerja diunduh. Saya setuju, proses dan tahapan pembahasan Perppu Cipta Kerja butuh waktu yang cukup. Tidak tergesa-gesa.

Mengapa? Perppu Cipta Kerja justru kompleks permasalahannya.

Jika demikian, kita malah tidak cukup hanya memperdebatkan kasus per kasus. Perppu lumayan kompleks, berarti soal sistem.

Suatu hari, kawan ngobrol tentang RUU Cipta Kerja yang ramai dibicarakan di ruang publik. Dia menjelaskan bagaimana tidak pahamnya sebagian masyarakat soal RUU Cipta kerja. Katanya, banyak disalahpahami apa isi dan masuk dari rancangan regulasi tersebut.

Lanjutnya, kawan mencoba menggambarkan pada saya tentang konsep apa itu reskilling. Jika sudah ada ketermapilan seseorang sisa diasa kembali. 


Keterampilan teknis harus lebih aplikatif setelah ada bekal keterampilan sebelumnya. Terus, kawan mencoba mengutarakan apa yang dimaksud dengan upskilling.

Selain lebih aplikatif, seorang karyawan atau tenaga kerja masih perlu meningkatkan keterampilan teknisnya hingga lebih mumpunin dan profesional. Begitulah gambaran singkat dari kawan.

Lalu, sekarang permasalahannya bukan lagi kekurangpahaman terhadap regulasi Cipta Kerja. Dari Undang-Undang Cipta ke Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja bukannya sudah beres. 

Ternyata, masih menyisakan permasalahan, baik penilaian dari serikat buruh maupun dari tinjauan hukumnya. Kita bisa lihat reaksi, paling tidak dari dua pihak tersebut. Yang jelas, Perppu Cipta Kerja tuai kontroversi. 

Kadangkala, kita bisa menghindari perdebatan panjang. Tetapi, soal regulasi ketenagakerjaan, jangankan perdebatan, melihat saja batang hidung apa isi rancangangan Perppu Cipta Kerja sulitnya bukan kepalang. Apalagi untuk memahami apa substansi Perppunya.

Ini yang jadi jadi soal. Yang ahli hukum sesungguhnya tidak tiarap. Lebih lagi, kaum buruh paling dirugikan.

Kita membaca di media, betapa bersusah payahnya serikat buruh kita mengurus agar hak-hak dasarnya termuat di Perppu Cipta Kerja. Mereka berjuang dengan mengartikulasikan kepentingan di parlemen.

Begitu pula dari kalangan akademisi di bidang hukum. Mereka bersuara bukan suara "hantu." Mereka, kita semua ingin menyongsong masa depan negeri ini dengan cerah nan gemilang. Untuk apa kita saling ego, padahal ujung-ujungnya juga lebih banyak celanya, dibandingkan untuk memajukan bangsa ini.

Kita paham, proses legislasi Perppu tersebit perlu dinamika dan cair dengan mengangkat isu-isu penting. Jika sudah mengarah pada pembelokan substansi Perppu, maka lebih penting kita tinggalkan hal-hal yang absurd atau naif. 

Dilihat dari proses dan tahapan Perppu Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan yang ada. Kita percaya proses regulasi dan mestinya begitu dari pihak penyusun regulasi lebih paham apa dan bagaimana proses dan tahapan penyusunan sebuah peraturan perundang-undangan.

Tetapi, entah mengapa? Tim penyusun Perppu Cipta Kerja luput dari proses dan tahapan. Kebetulan saya pernah terlibat langsung dalam penyusunan regulasi kecil-kecilan, dilevel peraturan daerah,

Di situ ada proses dan tahapan, diantaranya partisipasi publik lewat sekurang-kurangnya gelar forum konsultasi publik. 

Proses dan tahapan sebelumnya ada pendekatan teknokrasi dengan melibatkan kalangan akademisi. Hasil ramuan alias rumusan konsep dari akademisi, maka lahirlah naskah akademik peraturan perundang-undangan yang dimaksud.

Jadi, memang secara normatif penyusunan regulasi tersebut bukanlah sulap-sulapan, simsalabim. Maka jadilah Perppunya.

Wajarlah jika sebagian pihak heran ada apa dengan Perppu langsung berdiri di hadapan kita. Tidak ada kilat, tidaka ada awan, tahu-tahunya sudah terbit. 

Bukan pula alasan adanya puas atautidak puas. Mustahil orang seratus persen dipuaskan. Mestinya, semua pihak terbuka untuk membicarakan serincinya-rincinya apa yang mestinya dimuat dalam Perppu.

Berapa lama mendiskusikan, menelaah, menganalisis atau mengkaji hingga setuntas-tuntasnya itu jika bukan tidak, belum pernah dilakukan dalamproses legislasi Perppu Cipta Kerja.

Kita tidak tahu persis, apakah menghindari hujan kritik dari berbagai pihak jika dibuka forum dialok terbuka atau terjadi partisipasi publik yang luas. Sehingga keluaran Perppu Cipta Kerja masih dianggap "bola benjol."

Demi kepentingan yang lebih besar dan lebih tinggi melebihi kepentingan kelompok, politik hingga kepentingan jangka pendek lainnya justeru yang dikedepankan. Kita akan lebih kaget dan heran. Mengapa tahapan partsispasi publik dihindari.

Kita akan bertanya dan bertanya lagi. Nah, di sini, tahapan eksekusi malahlebih menarik daripada tahapan lainnya. Jurus seolah-olah "sudah jadi" regulasinya pun lebih enteng ditempuh jalannya.

Kita pantas bertanya soal batang tubuh Perppu Cipta Kerja. Apa susahnya diakomodir semua masukan, saran hingga kritikan dari berbagai pihak terutama dari kaum buruh dan ahli hukum.

Atau jurus yang penting mucnul dulu "barangnya," soal serangan, kritikan, dan bentu reaksi lainnya itu urusan belakangan. Ampun!

Seperti anak bangsa saling umpet-umpetan dalam perkara Perppu Citpta Kerja. Lantas, semua bisa jadi. Ayo, mainkan!

Makin curiga orang, kepentingan apalagi di balik Perppu Cipta Kerja. Kesal campur heran, kaget dibuatnya.  

Kita sudah pahami, jika pihak pemerintah memiliki pandangan luas sekaligus demi kepentingan bangsa untuk menghadirikan Perppu Cipta Kerja. Cuma itu, ada proses dan tahapan yang terabaikan.

Mustahil juga terjadi transparansi, saya kira tidak heran jika itu terjadi, manakala partisipasi publik tidak terpenuhi selama proses pembahasan rancangan Perppu. Dijamin seratus persen tidak bakalah memenuhi hak-hak normatif kaum buruh.

Bukankah penerapan Perppu Cipta Kerja ditujukan pada tenaga kerja, termasuk kaum buruh? Mengapa kitas sewot? Ini bukan sewot atau tidak bung! Ini soal kemaslahatan umum.

Cobalah kita bayangkan berapa persen kaum buruh yang berkontribusi terhadap pembangunan kota? 

Itu dulu. Belum lagi sektor lain, misalnya perdagangan, industri, jasa, dan sejenisnya.

Nasib kaum bruh diakui punya kepentingan besar di situ. Tetapi, selama ini, kue pembangunan siapa yang lebih nikmati?

Kita tidak ingin ada bantah-bantahan. Soalnya itu, mengapa proses dan tahapan partisipasi publik tidak terpenuhi? Yang instan lebih nikmat! Itu jalannya!

Apa jadinya? Belum tuntas permsalahan yang satu, muncul yang lain. Tergesa-gesa mucnul karena tidak partisipasi publik. 

Jangankan memenuhi proses dan tahapan, sedangkan regulasi begitu makan waktu lama belum dijamin tidak ada permasalahan. Apa contohnya, KUHP baru. 

Sudahnah, kita lewatkan yang satu itu dulu. Nyatalah, setiap produk hukum yang tidak melibatkan partsipasi publik akan terjadi pro dan kontra. Gontok-gontokan sana sini tidak terelakkan.

Bagaimana mungkin keluaran produk hukum maksimal, sedangkan proses dan tahapan tidak terpenuhi. Dianggap kelar yang tidak kelar. 

Kita tidak salahkan Baleg (Badan Legislasi) DPR atau pihak mana pun. Tetapi, tolong dengarkan jeritan nurani anak bangsa ini!

Apa susahnya juga ketuk palu Perppu persis tidak susahnya, kecuali terimajinasi ada gangguan dan tekanan dari pihak luar saat pembahasan rancangan Perppu.

Lantaran dianggap repot jika terjadi partispasi publik dalam pembahasan rancangan Perppu, maka jadinya yang itu saja. 

Seandainya partsipasi publik dijalankan dalam proses dan tahapan penyusunan rancangan Perppu tersebut, kita lebih yakin dengan nilai kemaslahatan akan terjamain.

Ada forum orang dewasa di parlemen, lebih pneting abaikan suara sumbang. Fokus kerja kebangsaan atau demi kerakyatan. Terlepas dari semboyan atau tidak, akhirnya kita bernafas legah proses dan tahapan partispasi publik tergelar secara optimal.

Semuanya tergantung dari kita. Tidak ada yang berat jika kita bertekad bulat. Kita ingin berubah, jika semua ingin berubah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun