Mohon tunggu...
Erlangga Danny
Erlangga Danny Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang yang bermimpi jadi penulis

Wat hebben we meestal doen, bepalen onze toekomst. Daardoor geschiedenis is een spiegel voor toekomst. Leben is een vechten. Wie vecht niet, hij zalt in het gedrang van mensen verpletteren.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sifat Wudhu Nabi

2 Agustus 2021   21:13 Diperbarui: 5 Agustus 2021   06:30 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Wudhu' merupakan salah satu ibadah yang sangat penting dalam Islam. Namun, banyak orang yang setiap hari melakukannya tidak tahu apa sebenarnya esensi dari wudhu itu sendiri. Sehingga, tidak ada hasil yang didapat setelah melakukan ibadah itu.

Dalam tulisan kali ini, penulis hanya ingin memberikan ulasan tentang apa itu wudhu ditinjau dari segi bahasa, tata caranya sesuai dengan sunnah nabi, maupun hikmah yang didapat setelah melakukan wudhu'. Sehingga kita bisa lebih memahami wudhu dan sekaligus menambah keimanan kita.

Wudhu' (الْوُضُوْءُ) berasal dari kata dalam bahasa Arab (ألْوَضَاءَةُ) yang memiliki beberapa makna. Yang pertama, bisa bermakna al-hasan (ألْحَسَنُ) berarti baik. Yang kedua, bisa juga bermakna an-nadzofah (ألْنَّظَافَةُ) yang berarti bersih. Bahkan bisa juga bermakna adh-dhou'un (ألْضَّوْءُ) yang berarti cahaya.

Sehingga diharapkan orang yang berwudhu, akan menampakkan kebersihan tidak hanya dari tampilan luarnya saja, tetapi juga menampilkan kebersihan dalam hatinya. Dari kebersihan hatinya itulah nantinya akan tampak cahaya di hatinya hingga nampak ke dalam perilakunya sehari-hari.

Maka, mustahil orang yang wudhunya benar akan berkata kotor, mencela orang lain serta cenderung meninggalkan dosa besar, seperti meninggalkan sholat lima waktu, dll. Malah, orang yang wudhunya benar, selain tampak aura-aura kebaikan dalam dirinya, justru semakin meningkat keimanannya kepada Allah swt.

Secara istilah, wudhu didefinisikan oleh para ulama madzhab berbeda-beda. Pada esensinya, wudhu' bertujuan untuk menghilangkan hadats kecil, bukan hadats besar. Kalau hadats besar, cukup dihilangkan dengan melakukan mandi junub. Apa yang membedakan hadats dengan najis?

Hadats adalah sebuah keadaan dimana seseorang dilarang melakukan ritual ibadah. Sehingga pembersihan hadats, hanyalah bersifat status hukum saja walaupun dia telah menghilangkan najis baik dari warna, rasa, dan aromanya. Contoh ketika orang melakukan kencing dan buang hajat, maka status hukumnya, ia menanggung hadats kecil.

Najis adalah sesuatu yang dianggap kotor dan mencegah sahnya shalat. Yang membedakan dengan hadats, kalau najis lebih tampak ke bendanya baik dari sisi warna, rasa, dan aroma. Contoh najis dari manusia seperti air kencing, darah, nanah, air mazi.

Walaupun orang sudah menghilangkan najis dalam tubuhnya, tetapi apabila status hukumnya berhadats, maka ia wajib melakukan ritual ibadah untuk menghilangkan hadats itu.

Wudhu, memang sudah disyariatkan bersamaan dengan diwajibkannya shalat di Mekkah jauh sebelum Nabi s.a.w. melakukan Isra Mi'raj ke langit. Walaupun saat itu, kewajiban shalat sifatnya masih terbatas untuk nabi saja. Barulah, setelah peristiwa Isra Mi'raj, kewajiban shalat lima waktu, disyariatkan bagi umat Islam.

Dalam Al-Qur'an perintah wudhu tertuang dalam Q.S. Al-Maidah ayat 6 berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إذَا قُمْتُم إلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُ وُجُوْهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak shalat, maka basuhlah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian hingga siku, dan usaplah kepala-kepala kalian dan basuhlah kaki-kaki kalian hingga kedua mata kaki ... (Q.S. Al-Maidah ayat 6)

Dari ayat inilah, kita bisa mengetahui bahwa ada empat pokok anggota tubuh yang harus dibasuh maupun diusap dalam wudhu, antara lain wajah, tangan hingga siku, kepala, dan kaki hingga ke mata kaki.

Nah, selain yang tertuang dalam Al-Qur'an, perintah untuk berwudhu sebelum shalat, ada dalam hadits nabi. Hadits ini termuat dalam kitab Shohih Muslim No. 224 sebagai berikut:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ رَافِعٍ. حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَاقِ بْنُ هَمَّامٍ: حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ بْنُ رَاشِدٍ, عَنْ هَمَّامِ بْنُ مُنَبَّهٍ أَخِيْ وَهْبٍ بْنُ مُنَبَّهٍ قَالَ : هَذَا مَا حَدَّثّنَا أَبُوْ هُرَيْرةَ عَنْ مُحَمَّدٍ رَسُوْ لِ اللهِ صلى الله عليه وسلم, فَذَكَرَ أَحَادِيْثَ مِنْهَا : وَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ تُقْبَلُ صَلَاةُ أحَادِكُمْ, إِذَا أحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ.

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rofi', telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq bin Hammam, telah menceritakan kepada kami Ma'mar bin Rosyid, dari Hammam bin Munabbah, saudara laki-laki Wahbin bin Munabbah berkata, "Ini apa yang telah menceritakan kepada kami Abu Hurairah, dari Muhammad Rasulullah s.a.w., kemudian dia (Abu Hurairah) menyebutkan hadits-haditsnya darinya: Rasulullah s.a.w. bersabda, 'Tidak akan diterima sholat diantara kalian, jika berhadats hingga dia berwudhu'".[1]

Dari hadits ini, para ulama kemudian menyimpulkan bahwa untuk syarat sahnya shalat, salah satunya adalah berwudhu. Wudhu' selain fardhu sebelum melakukan shalat, juga diperintahkan ketika hendak menyentuh mushaf Al-Quran, maupun ketika hendak thawaf di Kakbah. 

 

Tata Cara Wudhu

Jika kita baca dari berbagai kitab ulama madzhab, muncul perbedaan masalah rukun wudhu. Hal ini dilatar belakangi oleh perbedaan dalam menafsirkan ayat 6 dalam Surat al-Maidah tersebut. Namun, hal itu jangan dijadikan suatu persoalan.

Mungkin diantara kita di waktu kecil, pernah diajarkan masalah rukun wudhu. Rukun wudhu yang diajarkan sebenarnya adalah menurut madzhab Syafi'i. Karena mayoritas masyarakat kita dalam beribadah bermadzhab Syafi'i, penulis akan sebutkan rukunnya menurut madzhab Syafi'i ada enam, yakni:

  1. Niat
  2. Membasuh wajah
  3. Membasuh kedua tangan hingga siku
  4. Mengusap kepala
  5. Membasuh kedua kaki hingga ke mata kaki
  6. Tertib

Sedangkan perkara seperti berkumur, menghirup air lewat kedua lubang hidung (istinsyaq),  mengeluarkan air dari lubang hidung (istintsar), dan mengusap daun telinga adalah sunnah wudhu'.

Jadi apabila kita menemukan kondisi dimana ada sedikit air dan hanya memungkinkan untuk wudhu dengan melaksanakan sesuai rukun di atas, walaupun itu dilakukan sekali saja ataupun dua kali tanpa harus tiga kali, maka wudhunya sah.

Yang penting batas-batas anggota tubuh terbasuh semua. Pelaksanaan wudhu masing-masing 3 kali ini hanyalah untuk kesempurnaan wudhu saja. Barangkali ada batas-batas anggota tubuh yang belum dibasuh dan diusap.

Hal ini terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam kitab Sunan Abu Dawud No. 106 berdasarkan riwayat dari Humran bin Aban yang merupakan budak Ustman bin Affan r.a. sebagai berikut:

عَنْ حُمْرَانِ بْنُ أبَانِ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنُ عَفَّانِ, قَالَ : رَأَيْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانِ تَوَضَّأَ : فَأفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ ثَلَاثَا فَغَسَلَهُمَا, ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ, وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا, وَغَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إلَى الْمِرْفَقِ ثَلَاثًا, ثُمَّ الْيُسْرى مِثْلَ ذَالِكَ, ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ, ثُمَّ غَسَلَ قَدَمَهُ الْيُمْنَى ثَلَاثًا, ثُمَّ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَالِكَ, ثُمَّ قَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم تَوَضَّأَ مِثْلُ وُضُوئِيْ هَذَا. ثُمَّ قَالَ : مَنْ تَوَضَّأَ مِثْلَ وُضُوْئِيْ هَذَا, ثُمَّ صَلّى رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدَّثُ فِيْهِمَا نَفْسَهُ, غَفَرَ اللهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

Artinya: Dari Humran bin Aban, budak Utsman bin Affan berkata, "Aku melihat Utsman bin Affan berwudhu': Dia menuangkan ke atas kedua tangannya air dari bejana lalu mencuci kedua (telapak) tangannya tiga kali, lalu dia berkumur-kumur dan istintsar (mengeluarkan air dari lubang hidung), kemudian membasuh kedua wajahnya tiga kali, lalu membasuh tangan kanannya hingga siku tiga kali, lalu giliran tangan kirinya seperti demikian (saat membasuh tangan kanannya), kemudian dia mengusap kepalanya, lalu membasuh kaki kanannya hingga mata kaki tiga kali, kemudian kaki kirinya seperti demikian (saat membasuh kaki kanannya). Kemudian ia berkata, 'Aku melihat Rasulullah s.a.w berwudhu seperti wudhuku ini.' Kemudian ia berkata, 'Siapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, lalu sholat dua rakaat tanpa berhadats di dalam keduanya (wudhu dan shalatnya), Allah swt akan mengampuni dosanya yang telah lalu.'[2] 

Maka kita dapat simpulkan bahwa tata cara wudhu sesuai sunnah nabi adalah:

  • Niat

Niat adalah kehendak dari dalam hati untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Letak niat hakekatnya ada di dalam hati, bukan di lisan. Niat inilah yang membedakan amal ibadah yang dilakukan tiap orang. Sehingga, bila kita berwudhu, seyogyanya kita tidak perlu melafalkan niat "nawaitu wudhu'a ...". Karena hakekatnya, sudah tertanam niat di hati.

Ini seperti yang diriwayatkan dalam hadits nabi di kitab Shohih Muslim No. 1907 dan Shohih Bukhori No. 1 yakni:

إنَّمَا الْأعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَ إنَّمَا لِكُلِّ امْرئءٍ مَا نَوَى

Artinya: "Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapat apa yang diniatkan".[3]

Hadits ini termasuk kategori hadits ghorib. Tapi tetap shohih. Namun disini, penulis tidak akan menjelaskan kenapa hadits ini dikatakan ghorib. Hal ini akan dijelaskan dalam tulisan lain.

 

  • Mencuci kedua telapak tangan

 Mencuci kedua telapak tangan sebenarnya termasuk dalam sunnah wudhu'. Bahkan dianjurkan agar ketika mencuci kedua telapak tangan, untuk membersihkan diantara sela-sela jari juga.

  

  • Berkumur-kumur, istinsyaq, dan istintsar.

 Dalam kitabnya yang berjudul Zaadul Maad, Ibnu Qoyim menjelaskan bahwa nabi ketika melakukan kumur, maka beliau menggunakan satu cidukan telapak tangan ketika menadahkan tangannya di air.

Lalu beliau berkumur dilakukan bersamaan dengan menghirup air ke dalam hidung. Di lain kesempatan, beliau menggunakan dua cidukan bahkan tiga kali. Hanya saja, riwayat paling shohih adalah dengan tiga kali cidukan.

Namun beliau tidak pernah memisahkan antara berkumur dengan memasukkan air ke dalam hidung seperti yang diajarkan pada kita saat kecil dulu. Beliau menggunakan separuh cidukan untuk mulut dan separuh lagi untuk hidung. Setelah istinsyaq dengan tangan kanannya, beliau lalu istintsar (membuang air dari lubang hidung) menggunakan tangan kirinya.[4]

 

  • Membasuh wajah

Menurut ulama fiqih, batas wajah dimulai dari tempat tumbuhnya rambut (dalam hal ini tidak dipersoalkan kebotakan rambut) hingga ke batas terakhir tumbuhnya rambut di dagu. Kalau dari sisi lebar, maka batas muka mulai dari cuping telinga kanan hingga kiri, atau sebaliknya.

Membasuh dalam wudhu yakni menumpahkan air ke tempat yang akan dibasuh. Maka dalam hal ini, kita diharuskan untuk menumpahkan air ke seluruh wajah hingga batas-batasnya demi menjaga kesahan wudhu. Disunnahkan juga untuk menyela-nyela jenggot bagi yang memiliki jenggot.

 

  • Membasuh tangan hingga siku

Batas tangan dimulai dari jari-jari hingga ke pangkal bahu. Maka kalau kita wudhu', disunatkan untuk memulai dari jari-jari lalu membasuh ke siku, kemudian memutar sikunya sehingga hastanya ikut terbasuh lalu kembali ke jari lagi.

Untuk tata cara wudhu tiga kali, maka dimulai dari membasuh jari kanan hingga ke siku lalu memutar siku hingga hasta terbasuh dan kembali lagi ke jari. Kemudian ulangi lagi hingga tiga kali.

Apabila kita lihat redaksi hadits, maka membasuhnya dimulai tangan kanan sebanyak tiga kali barulah tangan kiri tiga kali. Bukan tangan kanan sekali, lalu ke kiri sekali, lalu kembali ke kanan hingga tiga kali.

 

  • Mengusap kepala

Ada yang unik dalam redaksi ayat 6 dari Surat Al Maidah. Bila kita cermati, redaksi ayat tersebut menggunakan kata رُؤُوْسِكُمْ. Kata رُؤُوْسٌ adalah jama' dari kata رَأْسٌ yang berarti kepala. Disinilah letak keadilan Allah swt. Kalau redaksinya menggunakan kata rambut (شَهْرٌ), maka orang botak tidak mungkin bisa berwudhu, apalagi yang kepalanya gundul.

Sebelum kata رُؤُوْسِكُمْ didahului huruf ba. Para ulama berbeda pendapat mengenai makna huruf ba ini. Menurut Imam Syafi'i dan Hanafi, huruf ba bermakna tab'idh yang berarti sebagian. Sedangkan menurut madzhab Hambali dan Maliki, ba bermakna taukid (penguat). Sehingga, mereka (madzhab Hambali dan Maliki) menafsirkan huruf ba ini dengan mengusap seluruh kepala.

Bahkan hal ini terdapat hadits yang berasal dari shahabat bernama Abdullah bin Zaid r.a. dalam kitab Shohih Bukhori No. 197 disebutkan sebagai berikut:

حَدَّثَنَا أَحْمَدٌ بْنُ يُوْنُسَ قَالَ : حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيْزِ بْنُ أَبِيْ سَلَمَةَ قَالَ : حَدَّثَنَا عَمْرُوْ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَبِيْهِ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنُ زَيْدٍ قَالَ : أتَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَأَخْرَجْنَا لَهُ مَاءً فِيْ تَوْرٍ مِنْ صُفْرٍ, فَتَوَضَّأَ, فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا, وَيَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ, وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ بِهِ وَ أَدْبَرَ, وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ.

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abu Salamah, telah menceritakan kepada kami Amr bin Yahya, dari ayahnya, dari Abdullah bin Zaid berkata, "Rasulullah s.a.w. datang, kemudian kami mengeluarkan untuk beliau air di dalam bejana dari kuningan, lalu beliau berwudhu. Kemudian, beliau membasuh wajahnya tiga kali, lalu tangannya dua kali dua kali, lalu mengusap kepalanya kemudian menariknya ke depan lalu ditarik ke belakang, lalu membasuh kedua kakinya.[5]  

Tata cara mengusap kepala yakni dengan cara setelah menengadahkan tangan di atas air yang mengalir, kita tumpahkan lalu usap ke bagian kepala dengan cara menarik ke belakang hingga tengkuk kepala lalu kembali lagi hingga ke depan.

Bisa juga langsung dilanjutkan dengan memasukkan jari telunjuk ke lubang telinga dan ibu jari menggosok daun telinga. Untuk mengusap kepala ini, dilakukan cukup sekali saja. Sebab hal ini berdasarkan nash-nash hadits di atas.

Dari berbagai perbedaan pendapat ulama mengenai makna huruf ba ini, penulis cenderung lebih memilih sikap mengetengahkan pendapat untuk mengusap kepala, dilakukan secara menyeluruh. Namun jika pada kondisi tertentu tidak memungkinkan untuk mengusap seluruh kepala, maka penulis menggunakan pendapat untuk mengusap sebagian kepala.

 

  • Membasuh kaki hingga mata kaki

Dalam ayat Surat Al Maidah di atas dalam kata أَرْجُلَكُمْ, ada kata أَرْجُلٌ yang merupakan jama' dari رِجْلٌ yang berarti kaki. Huruf lam di atas, dibaca fathah (dihukumi manshub) karena merupakan isim maf'ul (objek) yang diathafkan kepada kata أَيْدِيَكُمْ. Kalau diathafkan kepada kata رُؤُوْسِكمْ, maka maknanya bukan membasuh lagi, tetapi mengusap kaki.

Untuk tata caranya dimulai dengan membasuh dari membersihkan sela jari-jari kaki lalu dilanjutkan membasuh hingga ke mata kaki. Cara membasuh seperti saat membasuh kedua tangan hingga siku, yakni mulai dari kanan dahulu. Apabila dilakukan tiga kali, maka selesaikan kanan tiga kali dahulu, dilanjutkan yang kaki kiri tiga kali.

  • Tertib

Tertib yakni berurutan mulai dari niat hingga membasuh kaki. Namun para ulama madzhab berbeda pendapat apakah tata cara wudhu ini harus berurutan. Imam Syafi'i mengatakan harus berurutan. Hal ini didasarkan pada dalil Surat Al-Maidah ayat 6 dan nash-nash hadits yang ada.

Hikmah Wudhu'

Wudhu selain kita membersihkan bagian luar secara lahiriyah dan membersihkan hati kita, juga sebagai sarana kita bertobat kepada Allah swt. Oleh karena itulah, dalam wudhu' kita disunnahkan untuk membaca doa setelah wudhu.

Hal ini terdapat dalam hadits riwayat dari Umar bin Khattab r.a. dalam kitab Mujam at-Tirmidzi No. 55 sebagai berikut:

عَنْ عُمَرَ بْنُ خَطَّابِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ ثُمَّ قَالَ : أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهِ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ له, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه. اللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ, وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَاهِرِيْنَ : فُتِحَتْ لَهُ ثَمَانِيَةُ أَبْوَابِا الْجَنَّةِ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاء.

Artinya: Dari Umar bin Khattab r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda, "Siapa yang berwudhu' lalu membaguskan wudhu', kemudian dia berdo'a: Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang benar selain Allah swt, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang suci, maka dibukakanlah baginya delapan pintu-pintu surga dimana dia akan masuk dari pintu manapun".[6]

Hanya saja, menurut Imam at-Tirmidzi, hadits ini adalah hadits yang mudhthorib[7] dari segi sanadnya. Hadits mudhthorib, termasuk hadits yang dhoif sehingga tidak bisa dijadikan hujjah dalam berdalil. Namun, bila kita ingin mengamalkan hadits ini, tidaklah mengapa tanpa menisbatkan kepada nabi.

Ketika kita wudhu, selain kita juga sedang bertobat, ada hikmah lain yang terkandung di dalamnya. Hikmah itu yaitu membersihkan segala dosa saat kita membasuh maupun mengusap anggota wudhu yang dibasuh. Sehingga nantinya, ketika kita menghadap Allah swt dalam shalat, kita dalam kondisi suci.

Mengenai ini, kita temukan dalam hadits nabi di kitab Shohih Muslim No. 244 yang diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah r.a. sebagai berikut:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِذَا تَوَضَّأَ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ (أَوِ الْمُؤْمِنُ) فَغَسَلَ وَجْهَهُ, خَرَجَ مِنْ وَجْهِهِ كُلُّ خَطِيْئَةٍ. نَظَرَ إِلَيْهَا بِعَيْنَيْهِ مَعَ الْمَاءِ (أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ) فَإِذَا غَسَلَ يَدَيْهِ خَرَجَ مِنْ يَدَيْهِ كُلُّ خَطِيْئَةٍ كَانَ بَطَشَتْهَا يَدَاهُ مَعَ الْمَاءِ (أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ) فَإِذَا غَسَلَ رِجْلَيْهِ خَرَجَتْ كُلُّ خَطِيْئَةٍ مَشَتْهَا رِجْلَاهُ مَعَ الْمَاءِ (أَوْ مَعَ آخِرِ قَطْرِ الْمَاءِ) حَتَّى يَخْرُجُ نَقِيًّا مِنَ الذُّنُوْبِ.

Artinya: Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, "Jika seorang hamba muslim (atau mukmin) berwudhu' lalu dia membasuh wajahnya, keluar dari wajahnya setiap kesalahan yang diperlihatkan kepadanya dari kedua matanya bersamaan dengan air (atau bersamaan dengan akhir dari tetesan air). Jika dia membasuh kedua tangannya, keluar dari kedua tangannya setiap kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh kedua tangannya bersamaan dengan air ( atau bersamaan dengan akhir dari tetesan air). Jika dia membasuh kedua kakinya, keluar setiap kesalahan-kesalahan yang dilangkahkan kedua kakinya bersamaan dengan air (atau bersamaan dengan akhir dari tetesan air) hingga ia keluar (selesai) dari wudhunya dalam keadaan suci dan bersih dari dosa-dosa."[8]

Dalam riwayat hadits lain, juga diterangkan di dalam kitab yang sama di nomor 245 sebagai berikut:

عَنْ عُثْمَانَ بْنُ عَفَّانَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : مَنْ تَوَضَّأ فَأَحْسَنَ الْوَضُوْءَ خَرَجَتْ خَطَايَاه مِنْ جَسَدِهِ حَتَّى تَخْرُجُ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ.

Artinya: Dari Utsman bin Affan berkata, Rasulullah s.a.w. bersabda, "Siapa yang berwudhu' kemudian membaguskan wudhu', keluarlah kesalahan-kesalahannya dari jasadnya sampai keluar dari bawah kuku-kukunya.[9]

Walaupun wudhu' hanya ibadah yang sepele. Tapi begitu banyak hikmah yang kita dapatkan apabila kita berusaha untuk memperbagusnya. Memperbagus disini tidak hanya dari sisi lahiriyah semata. Tetapi juga berusaha merenungkan setiap kali kita membasuh maupun mengusap anggota wudhu.

Barangkali kita banyak memiliki dosa karena mungkin lisan kita baik sengaja maupun tidak berkata kotor, mencela orang lain, tangan kita mengetik di medsos dengan hal yang tidak benar sehingga mengakibatkan kita mengakses situs yang membuat kita dosa, atau mungkin kaki kita melangkah ke arah yang salah.

Itulah mengapa dalam wudhu' anggota tubuh yang dibasuh dan diusap terdiri dari tangan, kepala, kaki, wajah, termasuk disunnahkan dalam berkumur. Hal ini dikarenakan semua anggota tubuh itu merupakan bagian dari tubuh yang selalu digerakkan ketika kita beraktivitas.

Oleh karena itulah, kita sebagai umat Islam seyogyanya saling berintrospeksi diri. Jangan sampai wudhu yang kita lakukan hanya sebatas ritual rutinitas semata tanpa membuat keimanan kita meningkat. Mari kita bertanya pada diri kita, apakah selama ini wudhu kita sudah benar?

Catatan kaki

  1. Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shohih Muslim, cet. ke-1, (Riyadh: Dar Thoyyibah, 2006), hlm. 122.
  2. Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'ats as-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Riyadh: Maktabah al-Maarif), hlm. 23. Dalam redaksi di kitab Shohih Muslim No. 226, Utsman bin Affan ketika berwudhu, tata cara pertama adalah mencuci kedua telapak tangannya tiga kali.
  3. Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, cet. ke-1, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 2002), hlm. 7;  Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shohih Muslim, cet. ke-1, (Riyadh: Dar Thoyyibah, 2006), hlm. 920
  4. Syamsuddin Abu Abdillah bin Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub al-Masyhur, Zaadul Maad fi Hadiyil Khoir al-Ibad, (Beirut: Muasassah ar-Risalah), 2009, hlm. 62.
  5. Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhori, Shohih Bukhori, cet. ke-1, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 2002), hlm. 61.
  6. Abu Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, Jami' at-Tirmidzi, (Riyadh: Darussalam, 2000), hlm. 15.
  7. Hadits mudhthorib adalah hadits yang didalamnya terdapat berbagai riwayat yang saling bertentangan. Sehingga riwayat-riwayat tersebut sangat sulit untuk dikompromikan dan tidak bisa saling dikuatkan satu sama lain. Apabila ada satu riwayat hadits yang memperkuat hadits-hadits yang saling bertentangan, maka gugurlah syarat hadits mudhthorib tersebut.
  8. Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shohih Muslim, cet. ke-1, (Riyadh: Dar Thoyyibah, 2006), hlm. 130.
  9. Ibid

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun