حدثنا يحي بن محمد بن السكن حدثنا محمد بن جهضم حدثنا إسماعيل بن جعفر عن عمر بن نافع عن أبيه عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : "فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر صاعا من تمر أو صاعا من شعير على العبد و الحرِّ و الذكر و الأنثى و الصغير و الكبير من المسلمين , وأمر بها أن تؤدى قبل خروج الناس إلى الصلاة"
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Muhammad bin Sakkani, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Jahdhomin, telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ja'far, dari Umar bin Nafi', dari ayahnya, dari Ibnu Umar r.a. dia berkata: "Rasulullah s.a.w. mewajibkan zakat fithrah satu sha' kurma atau satu sha' keju atas hamba dan yang merdeka dan laki-laki dan perempuan dan anak-anak dan dewasa dari golongan muslim, dan beliau memerintahkan untuk menunaikannya sebelum berangkatnya manusia ke sholat Ied." [1]
Bagaimana ulama bisa memperoleh kesimpulan hukum zakat beras?
Jawabannya, mereka menggunakan metode qiyas, yakni mengambil kesimpulan hukum dengan cara menganalogikan sesuatu yang memiliki nilai yang setara dengan yang tertera dalam nash (Al-Quran dan Hadits).
Dalam hal ini, para ulama menyimpulkan bahwa beras memiliki nilai yang setara dengan kurma atau keju. Karena kurma atau keju adalah makanan pokok bagi masyarakat Arab saat itu.
Masyarakat Asia Tenggara khususnya Indonesia, makanan pokoknya adalah beras. Maka tidak mungkin kita harus sesuai dengan Hadits berzakat menggunakan kurma ataupun keju.
Untuk satu sho' sendiri, kita harus mengerti dahulu, bagaimana takaran satu sho' itu pada masa nabi hidup lalu disesuaikan takarannya dengan hitungan di zaman sekarang.
Tentunya, kita harus merujuk pada para ulama yang memiliki kapabilitas menjelaskan makna hadits ini. Apalagi, di zaman nabi hidup, belum ada alat ukur timbangan seperti kita sekarang, bahkan ilmu matematika pun belum ada.
Kita bisa membaca dari kitab karya Ibnu Hajar Asqolani berjudul Fathul Bari yang menjelaskan kitab Shohih Bukhori. Lalu, ada kitab karya Imam Nawawi yang menjelaskan kitab Shohih Muslim, dan masih banyak lagi kitab-kitab karya ulama yang menjelaskan hadits-hadits nabi.
Untuk menguasai ilmu hadits, ada ilmu dan kaidah yang harus dikuasai. Selain ilmu bahasa arab, ilmu nahwu, ilmu sharaf, dan ilmu balaghah, harus menguasai setidaknya 3 ilmu bantu, antara lain:
- Mustholah Hadits, yakni ilmu yang mempelajari berbagai seluk beluk istilah dalam hadits mulai dari sanad, matan, rawi, jarh wa ta'dil, bagaimana hadits bisa dikatakan shohih, hasan, dhoif, lalu pembagian hadits dhoif yakni munkar, mursal, maudhu', dirayah dan riwayahnya hadits.
- Takhrijul Hadits, yakni ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang bisa mengidentifikasi bagaimana hadits ini bisa dikatakan shohih, hasan, dhoif, dilihat dari segala sisi mulai dari perawinya siapa, sanadnya, dan matan. Lalu apakah suatu teks berasal dari hadits nabi atau bukan.
- Thuruqul Fahmil Hadits, yakni ilmu yang mempelajari tata cara dan kaidah khusus dalam memahami suatu teks hadits apakah hadits shohih ini bisa serta merta diamalkan, apakah semua hadits shoif bisa langsung ditolak, apakah hadits ini berkenaan dengan budaya lokal Arab saja ataukah berkenaan dengan syariat sehingga bisa diamalkan.
Itulah makannya, sebagai sumber hukum, umat Islam tidak melulu hanya manut saja dengan Quran dan Hadits, tetapi ada juga Ijma' (kesepakatan) dan Qiyas (analogi). Dua hukum ini (Ijma' dan Qiyas) adalah hasil dari ijtihad para ulama terhadap Al-Quran dan Hadits sebagai sumber hukum utama.