Sore kemarin, saat melintas di salah satu jalan utama, saya pun tergoda melihat jambu madu yang dijual beberapa pedagang di pinggir jalan. Wah, ini pasti manis, pikir saya.
Tanpa babibu, sayapun mampir dan membeli sebungkus jambu madu. Sesampai di rumah, segera saya cuci dan letakkan di piring.
"Ayah beli jambu," sahut anak lelaki saya setengah bertanya yang ternyata baru pulang dari sekolah. Ia pun menghampiri dan mengambil beberapa butir jambu madu. Â
Tanpa membuang waktu lagi, saya segera membelah jambu madu yang sungguh menggoda selera itu. Tapi apa hendak dikata, selera saya langsung hilang, karena begitu jambu terbelah terlihatlah ulat-ulat kecil yang bersarang di dalamnya. Akhh...Ternyata jambu busuk..!
Ya, jambu...Kata ini pun mengingatkan saya kepada seorang penegak hukum yang belum lama ini saya temui. Kepada dia saya bercerita tentang kasus pidana seorang keluarga. Saya meminta nasehat hukum sekaligus bertukar pikiran. Tiba-tiba ketika saya bercerita tentang adanya tawaran untuk meringankan sanksi pidana dari beberapa orang yang juga berstatus sebagai penegak hukum, dia langsung berkata, "Ah, jambu itu, Bang. Jangan percaya!" sergahnya.
Maksudnya, tanya saya menyelidik. "Jan(m)ji busuk, itu," jawabnya. Oh...ternyata Janji Busuk belaka.
Kini, pikiran saya pun melayang ke janji-janji politik yang sudah diumbar para pemimpin. Mulai dari tingkat bawah sampai atas. Semua berjanji dan bersumpah akan memakmurkan rakyat. Berpihak kepada wong cilik. Kerja, kerja, kerja! Begitu slogannya.
Tapi, hati ini sungguh miris, mendengar cerita orang dimana-mana tentang sulitnya hidup di zaman now. Tentang sukarnya mencari pekerjaan. Tentang mahalnya harga sembako. Tentang mahalnya BBM, gas dan listrik. Tentang semua hal yang serba sulit.
Ah, ternyata semua hanyalah JAMBU..! Â