Mohon tunggu...
Eri Kurniawan
Eri Kurniawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Saya pelajar, pengajar dan orang yang akan senantiasa 'kurang ajar' (dalam makna positif). Sekarang sedang belajar di kota Iowa, negerinya Bang Obama. Motto: "Teruslah merasa kurang ajar, karena kalau merasa terpelajar, kamu akan berhenti belajar."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Sini Tilang...Di Sana Tilang...Di Mana-mana Aku Ditilang

16 Januari 2011   03:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:32 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Gambar diambil dari http://www.norcalblogs.com"][/caption] Sepertinya sebagian besar orang pernah mengalami yang namanya ditilang karena satu dan lain hal. Intinya, ketika kita melanggar aturan lalu lintas, dan kebetulan polantas sedang bertugas, maka kemungkinan besar kita akan kena tilang, kecuali kalau dewi fortuna datang menjelang. Ketika di tanah air, saya pun tak lepas dari melakukan pelanggaran. Tentunya tak disengaja, karena rambu lalu lintas (yang saya langgar) terhalang oleh pohon rindang. Ketika itu, saya mengendarai motor dari arah Lembang dan hendak belok kanan ke Jalan Sersan Bajuri. Tak tahunya, ternyata, ada rambu dekat pohon yang melarang pengendara untuk belok kanan langsung pas pertigaan. Kita mesti lurus dulu melewati Terminal Ledeng baru kemudian memutar. Setelah masuk Jalan Sersan Bajuri, seorang polantas langsung menyuruh saya menghentikan kendaraan. Setelah parkir, saya diminta datang ke pos jaganya. Di situlah 'negosiasi' dimulai. Polantas tersebut meminta SIM C saya dan menjelaskan pelanggaran yang baru saya lakukan. Saya pun meminta maaf karena secara jujur tak tahu akan aturan itu dan tak melihat rambunya. Pak polisi pun memeriksa semua informasi yang tertuang dalam SIM tersebut. Ketika sampai ke informasi pekerjaan yang tertulis GURU, dia pun bertanya, "Bapak mengajar dimana?" Saya pun menjawab bahwa saya mengajar di kampus UPI. Percakapan berlanjut panjang lebar mengenai anaknya yang kuliah di UPI serta kenalan dosennya di UPI. Sejujurnya, ketika percakapan berlangsung, pikiran saya terus menerka apa maksud Pak Polisi ini sebenarnya. Apa beliau menunggu 'tawaran damai' saya atau apa? Saya pun 'pura-pura' polos dan mengikuti alur pembicaraan. Sampai akhirnya, Pak Polisi berkata, "Karena bapak seorang guru, saya maafkan pelanggaran kali ini. Lain kali, bapak harus lebih hati-hati dan membaca rambu dengan teliti." Saya pun senang dan bergegas pergi sebelum Pak Polisi berubah pikiran. Sepanjang perjalanan pulang, saya tak henti-hentinya mengucap syukur. Ternyata besar sekali penghargaan masyarakat terhadap seorang guru. Pengalaman ditilang pun pernah saya alami di Amrik. Minggu pertama setelah mendapat SIM sementara (dengan SIM sejenis ini saya boleh mengemudi tapi harus didampingi oleh orang yang pengalaman mengemudinya mumpuni) dari kantor transportasi di kota Iowa, dengan modal nekad, saya langsung 'tancap gas', berputar-putar di kota untuk mengenali jalan (niat sebenarnya sih untuk memperlancar kemampuan menyetir). Saya sadar betul bahwa saya harus ekstra hati-hati agar tidak kena tilang polisi karena waktu itu hanya ditemani isteri yang sama-sama masih memegang SIM sementara. Ketika menyusuri 5th street selepas belanja di HyVee Coralville, saya memasuki perempatan 5th street dan 12th avenue. Karena masih buta akan rambu (dan konsentrasi terlalu tinggi pada mobil yang saya kendarai (maklum pemula =), yang seharusnya belok kiri, saya malah lurus. Celakanya, tepat di depan saya ada mobil polisi patroli yang kemudian langsung memutar untuk mengejar saya. Awalnya karena tidak sadar ada polisi, saya tenang saja mengemudi. Baru setelah saya melihat kelap-kelip lampu mobil polisi yang terus mengikuti, saya langsung tersadar bahwa saya harus berhenti. Saya langsung menepi dengan jantung berdegup kencang, karena khawatir ketahuan bahwa saya menyetir secara ilegal, tanpa ada orang berpengalaman yang mendampingi. Sang polisi pun keluar dari mobilnya dan langsung mendekat. Setelah menyampaikan ucapan salam, satu pertanyaan pun terlontar, "Sir, do you know why I stopped you?". Saya pun menuturkan kesalahan saya sambil menyodorkan SIM sementara dan kartu asuransi. Badan saya gemetar tak karuan sambil tak henti-henti berdo'a agar Pak Polisi tak menanyakan SIM istri. Apalagi berhadapan dengan polisi berklit hitam dan berbadan tinggi. Alhamdulillah, pak polisi tidak menanyakan itu. Sepertinya dia berasumsi istri saya memegang SIM resmi. Selepas memberikan surat tilang, Pak polisi  menjelaskan bahwa saya bisa memproses pelanggaran ini ke pengadilan kota kalau-kalau saya merasa tidak bersalah. Setelah polisi pergi, saya merasa begitu lega karena pelanggaran yang lebih besar luput dari pengamatan Pak Polisi. Rupanya, Tuhan masih sayang kepada orang kampung yang nekad mengemudi di kota Iowa ini. Saya terus cermati surat tilang yang saya baru terima. Terulis di ujung bawah surat tersebut angka $107. Dendanya sendiri sebenarnya hanya $35 tapi ditambah biaya administrasi pengadilan dan lain sebagainya. Anda hitung sendiri berapa besarannya dalam rupiah. Betapa kagetnya saya melihat besarnya jumlah denda yang harus saya bayar. Belum lagi ditambah kemarahan istri saya atas keteledoran saya dengan tidak melihat rambu. Bagi sebagian orang, mungkin jumlah itu tidak seberapa. Tapi bagi kami yang mengandalkan biaya hidup dari pemberi beasiswa, jumlah itu lumayan besarnya. Paling tidak, cukup untuk biaya menyambung hidup selama dua minggu. Kejutan lain pun ternyata sudah menanti. Ketika saya memperpanjang asuransi, biaya premi ternyata menjadi lebih tinggi. Ada kenaikan lebih dari $50 untuk asuransi selama 6 bulan. Stres saya dibuatnya, sampai memutuskan untuk mencari perusahaan asuransi lain. Pelanggaran yang diawali dengan modal nekad dan dibumbui dengan kurangnya pengetahuan serta keteledoran memang harus dibayar mahal. Mungkin, kalau dalam konteks tanah air, masih dimungkinkan ruang negosiasi, agar besaran denda bisa dikurangi. Tapi, di belahan bumi ini, hal itu akan sulit (kalau tidak mustahil) terjadi. Surat tilang akan diberikan kepada mereka yang melanggar, tanpa ada ruang kompromi. Satu hal yang InsyaAllah suatu saat akan menjadi sebuah realitas di bumi pertiwi. Tulisan menarik lainnya: Shalat Jumat Pun Harus Mengalah Madura Go International STMJ: Studi Terus Mabok Jalan Jadi Pemulung di Amrik Pipis di Negerinya Obama Cari Terasi Sampai ke Washington DC Bule, kok Ngomong Sunda? Ke Amrik Bermodalkan Mimpi? Bisa Dong! Shalat aja Kok Repot!!! Sunda? Yes! Jawa/Bali? No!!! “Malu Aku Jadi Orang Indonesia.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun