Mohon tunggu...
erika avalokita
erika avalokita Mohon Tunggu... -

suka nulis dan silat

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Menanti Penataan Baru Tanah Abang oleh Pemda Jakarta

11 Desember 2017   11:14 Diperbarui: 11 Desember 2017   11:22 1269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: news.liputan6.com

Berita ini  muncul pada hari Minggu sore. " Sandiaga Siapkan Penutupan Jalan Untuk PKL Tanah Abang", dengan cepat menarik perhatian. Jalan mana yang akan ditutup ? Jika itu terkait komuter, mungkin jalan depan Blok G lalu berbelok ke arah stasiun tanah abang (lupa jalan apa). Tapi jalan itu itu vital untuk angkutan publik. Ataukah pemda akan merekayasa dengan membuat terminal lalu lot -1 dan 2 PD Pasar Jaya diubah menjadi area parkir ? Atau seperti apa ? Di berita itu Sandi bilang akan membuat tanah abang menjadi teduh. Tapi menutup jalan untuk PKL menurut saya akan jauh dari tone teduh.

Saya melewati Pasar Tanah Abang sekitar bulan Mei (atau Juni), tanpa sengaja karena terlanjur melalui Mas Mansyur menuju Slipi. Saya tenang saja karena "toh Tanah Abang sudah tertib dan enak dilewati " ( 2016 memang sangat tertib, tanpa ada PKL dan tak ada angkot berani ngetem) Tapi alamak,  selepas Mas Mansyur trus belok Tanah Abang mau ke Slipi, terjebak pada belibetnya kendaraan yang berpacu dengan angkot dan para pedagang yang ternyata sudah kembali berdagang di pinggir jalan.  Pk 14.00, macet sejam di pasar Tanah Abang, sama sekali gak lucu meski ada AC. Lelah.

Menurut berita itu, ada empat hal yang akan diakomodir Sandi. Pertama, memuliakan pejalan kaki, menata para PKL dengan lapangan pekerjaan tetap, mengintegrasikan moda-moda transportasi dan keempat adalah suasana teduh. Teduh ? Tapi saya mikir, konsep teduh bagi PKL yang akan menutup ruas jalan dari Sandi akan seperti apa ?

Kelemahan Tanah Abang adalah pembangunannya terkesan parsial, tidak integratif. Padahal jika integratif dan connecting, Tanah Abang yang luas itu akan lebih nyaman. Karena parsial, penertiban-penertiban  'ala Ahok yang keras', mutlak ada. Harus kita akui, hanya Ahok yang bisa membuat PKL patuh dan Tanah Abang yang sudah terlanjur dibangun secara parsial, menjadi rapi dan nyaman bagi pengguna lalu lintas.

Jika pemda punya konsep baru dan cemerlang yang dibilang Sandi sebagai 'mengintegrasikan moda-moda transportasi' maka itu ide yang sangat baik. Terminal mini harus ada, berdampingan dengan perbelanjaan dan stasiun KA. Stasiun KApun harus siap dengan pelataran dan pedestrian yang memadai, termasuk jembatan penyeberangan (karena jika penumpang KA turun , ratusan ojek online ngetem di situ plus angkot dan metromini. Bikin frustasi). Tapi konsep Sandi; menutup jalan demi PKL plus mengijinkan PKL berjualan di trotoar, lalu ada diksi 'teduh' membuat saya bingung. Menurut saya kok bernegasi; akan tetap ruwet.

Lihat kasus Cililitan yang dulu juga ruwet. Dengan adanya terminal kecil di samping mal (yang menampung , plus penertiban terhadap PKL, suasananya jadi mendingan. Ini mungkin konsep integratif skala mini. Tanah Abang jauh lebih luas dibanding Cililitan.

Saya tidak mengaitkan hal ini pada soal politik, ini soal tata ruang, tata kelola dan kebijakan. Orang Jakarta terlalu banyak urusan sehingga tak terlalu peduli dengan tata kota dan tata kelola, plus sosialisasi yang minim dari Pemda (pemda yang lalu-lalu J). Kalau mau berbicara lebih luas, sebagian besar masalah di Jakarta berasal dari perencanaan tata ruang yang tidak tepat. Ketidak --tepatan perencanaan itu karena karena kurang dilibatkannya tokoh masyarakat setempat ketika membuat perencanaan. Kedua, kemampuan analisa pemda terhadap situasi terkini dan prediksi kedepan selain harus berhadapan dengan perencanaan nasional.

Sebagian besar konsep tata ruang Jakarta menurut saya ruwet. Terlihat pembangunan massif 2000-2010 yang sedikit menyisakan ruang terbuka hijau. Nyaris semua diubah menjadi kawasan perumahan dan komersial. Apartemen menjulang, mal-mal bertebaran . Lihat Kemang, Kelapa Gading dan Kapuk - Angke yang sering banjir (beberapa tahun terakhir ini tidak lagi). Kasus di Kemang misalnya, data yang ada sudah 70 persen berubah fungsi menjadi daerah komersial. Padahal seharusnya dulu, 70 persen diperuntukan untuk hunian serta daerah resapan air. Jadi hanya 30 persen yang bisa digunakan untuk kepentingan komersial

Kalau orang Jakarta sedikit peduli dengan kotanya; kita ini sudah punya empat Master Plan. Dari Rencana Induk Djakarta 1965-1985, kemudian Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) 1985-2005, kemudian yang ketiga Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2000-2010, dan keempat Rencana Tata Ruang Jakarta (RTRJ) 2010-2030. Perubahannya sangat cepat dan masif.

Jangan salah sangka dulu. Revisi yang dilakukan oleh Pemprov DKI lebih karena ingin mengakomodasi program-program nasional supaya masuk dalam RTRW dan RDTR. Kenapa? Karena kalau tidak dimasukan sekarang atau tidak direvisi, maka proyek-proyek nasional yang sedang dilakukan bisa jadi melanggar tata ruang. Contoh di depan mata adalah Light Rapid Transit (LRT), Mass Rapid Transit (MRT), kemudian kereta api cepat atau reklamasi yang merupakan proyek nasional. Jika tidak dimasukkan, maka proyek tersebut bisa disebut melanggar tata ruang. Karenanya, direvisi.

Pertanyaannya, kenapa kalau demi proyek nasional pemda Jakarta mau melakukan revisi? Sementara untuk perubahan-perubahan demi kepentingan sendiri,  pemda malah tidak mau? Padahal perubahan seperti di Kemang, Kelapa Gading, kemudian Pantai Indah Kapuk, semuanya terjadi karena mendapat izin dari pemda Jakarta. Tidak semuanya ilegal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun