Ketika membaca kisah tentang Haikal, seorang anak kecil yang selamat dari musibah yang menimpa Ponpes Al Khoziny pada Selasa, 1 Oktober 2025, hati saya begitu trenyuh. Ada perasaan sedih yang sulit dijelaskan, bercampur haru, sekaligus kekaguman mendalam pada sosok kecil yang begitu kuat memegang imannya. Dari seorang anak yang bahkan belum memiliki KTP, saya belajar bahwa keimanan sejati tidak ditentukan oleh usia, melainkan oleh kemurnian hati.
Selama tiga hari Haikal terjebak di bawah timbunan bangunan yang ambruk, terhimpit oleh jasad dua sahabatnya. Dalam gelap dan sesak, di tengah aroma debu dan kematian, justru di sanalah cahaya imannya paling terang. Ia tidak menjerit putus asa, tidak mengutuk nasib, tetapi tetap memelihara keyakinan bahwa Tuhan bersamanya. Meski tubuhnya lemah, namun tutur katanya tetap menyalakan kekuatan yang sulit digambarkan. Dengan polos tapi yakin, ia menceritakan bagaimana ia dan teman-temannya yang masih hidup di bawah reruntuhan berusaha tetap menegakkan salat berjamaah.
Malam itu, ketika azan Isya hanya bergema dalam ingatan, Haikal membangunkan seorang temannya yang terbaring di sampingnya.
"Ayo salat, ayo salat," katanya lembut sambil menepuk bahu sahabatnya.
Sahabatnya masih sempat menjawab lirih, "Siapa yang jadi imam?"
Lalu entah bagaimana, Haikal mendengar suara yang memimpin bacaan salat. Ia tidak tahu siapa sosok itu, tapi di tengah kegelapan yang pekat, keyakinannya membuatnya merasa tidak sendirian.
Ketika waktu Subuh tiba, ia kembali menepuk bahu sahabatnya. Namun kali ini, tak ada jawaban. Sunyi. Hening yang menggantung lama di dada.
Saat itulah Haikal menyadari bahwa sahabatnya telah pergi, meninggalkan dunia yang remuk bersama bangunan itu.
Di tengah kesedihan yang tak terucap dan rasa haus yang membakar tenggorokan, Haikal melihat dua botol air tak jauh darinya. Namun ia menahan diri.
"Itu bukan hak saya," katanya pelan kepada petugas setelah diselamatkan.
Ucapan sederhana, tapi maknanya begitu dalam. Dalam situasi genting di mana nyawa menjadi taruhannya, anak sekecil itu masih mampu membedakan mana yang hak dan mana yang bukan. Di tengah dunia yang sering kali kehilangan rasa malu, di mana orang bisa dengan mudah mengambil yang bukan miliknya, Haikal berdiri sebagai cermin kecil tentang kesucian hati.