Menyesuaikan dengan prinsip serta filosofi pendidikan yang sangat sederhana: yang ingin dicapai (tujuan belajar-mengajar); upaya untuk mencapai tujuan itu (aktivitas belajar-mengajar; dan evaluasi (asesmen belajar-mengajar).
Itulah pendidikan. Tidak rumit sebenarnya hakikat pendidikan itu. Biarkan selanjutnya Guru berakselarasi dan berinovasi apa ingin dilakukannya terhadap 3 aspek itu.
Menteri Nadiem juga harus mengubah sistem zonasi sekolah. Agar tak rigid. Lebih lentur.
Jangan kaku. Murid 'dipatok' menyasar sekolah radius terdekat. Sekolah dibebankan kuota 90% wajib menerima murid (dengan jarak terdekat).
Kemudian: si murid tak lolos kualifikasi di sekolah itu.
Murid akhirnya harus mencari lagi sekolah yang masih bisa menerimanya. Dan kuotanya masih cukup.
Ujungnya; sekolah berjarak jauh lagi dan kuota "wajib" 90% ke sekolah juga tidak ideal.
Akurasi lokasi juga merupakan kendala. Kadang: dianggap masih masuk zonasi, nyatanya pihak sekolah berpendapat bukan.
Belum lagi berpotensi melahirkan 'kecemburuan pendidikan'. Saat ada murid yang nilainya lebih tinggi gagal diterima di sekolah favoritnya. Gara-gara bukan wilayah terdekat rumahnya.
Namun: temannya yang bernilai rendah justru diterima. Sebab rumahnya di samping sekolah. Dan aturan kuota 90% kewajiban sekolah menerima murid.
Polemik lagi.
Kini: waktunya Menteri Nadiem mengubah 'cara main' RPP dan zonasi sekolah.
Supaya pendidikan dinamis. Bukan tersekat kekakuan dan polemik.*