Mohon tunggu...
Erica AuliaWidiani
Erica AuliaWidiani Mohon Tunggu... Writer - Content Creator - Businesswoman

Nama Lengkap : Erica Aulia Widiani | Seorang mahasiswa, menyukai tulis menulis dan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melawan Stigma Sosial: Mendorong Masyarakat untuk Menghargai Diri dan Orang Lain

16 Juni 2025   11:15 Diperbarui: 16 Juni 2025   11:15 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Tima Miroshnichenko (pexels)

Di tengah perkembangan wacana tentang kesehatan mental yang semakin meluas, masih banyak masyarakat yang terjebak dalam pemahaman sempit dan prasangka terhadap isu ini. Stigma sosial terhadap kesehatan mental tidak hanya menambah beban bagi individu yang sedang berjuang, tetapi juga memperkuat budaya diam dan rasa malu yang mengakar kuat. Melalui artikel ini, kita akan menelaah bagaimana stigma itu terbentuk, mengapa penerimaan diri menjadi langkah awal yang penting, serta bagaimana edukasi empati dapat mengubah cara masyarakat memperlakukan isu kesehatan mental.

Stigma Sosial dan Akar Permasalahannya

Foto oleh Yan Krukau (pexels)
Foto oleh Yan Krukau (pexels)

Stigma sosial terhadap kesehatan mental sering kali muncul dari ketidaktahuan dan ketakutan. Dalam banyak budaya, termasuk di Indonesia, orang yang mengalami gangguan mental kerap dianggap sebagai individu lemah, tidak waras, atau bahkan membahayakan lingkungan. Pandangan ini tak hanya keliru, tetapi juga berbahaya karena membuat individu enggan mencari bantuan.

Media, sistem pendidikan, bahkan lingkungan keluarga turut membentuk stigma ini. Tayangan sinetron yang menggambarkan penderita gangguan mental sebagai sosok yang menakutkan, atau orang tua yang berkata, "Kamu cuma kurang ibadah," saat anaknya merasa depresi, memperkuat stereotip dan menutup ruang diskusi yang sehat.

Penerimaan Diri: Langkah Pertama yang Tidak Mudah

Foto oleh Fernando Capetillo (pexels)
Foto oleh Fernando Capetillo (pexels)

Bagi seseorang yang mengalami tekanan psikologis, tantangan pertama yang harus dihadapi sering kali bukan orang lain, melainkan diri sendiri. Perjuangan untuk menerima bahwa diri sedang tidak baik-baik saja, dan bahwa meminta bantuan bukanlah kelemahan, adalah proses yang panjang dan kompleks.

Penerimaan diri berarti menyadari bahwa emosi seperti sedih, cemas, atau marah adalah bagian dari pengalaman manusia yang wajar. Ini juga berarti melepaskan rasa malu yang muncul akibat label-label negatif dari lingkungan sekitar. Ketika seseorang mulai menerima dirinya, ia lebih mungkin mencari bantuan profesional, berbicara kepada orang terdekat, dan mengembangkan mekanisme koping yang sehat.

Namun, penerimaan diri tidak bisa berkembang di ruang yang penuh penolakan. Di sinilah pentingnya peran masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang suportif dan tidak menghakimi.

Edukasi Empati: Mengubah Cara Kita Memandang Orang Lain

Foto oleh Liza Summer (pexels)
Foto oleh Liza Summer (pexels)

Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Tapi empati tidak cukup hanya sebagai perasaan---ia harus diwujudkan dalam bentuk tindakan. Edukasi empati adalah proses membangun kesadaran kolektif agar masyarakat tidak hanya tahu tentang kesehatan mental, tetapi juga mampu bersikap inklusif terhadap mereka yang sedang berjuang.

Program-program edukasi empati bisa dimulai dari sekolah, tempat kerja, hingga komunitas lokal. Diskusi terbuka, pelatihan mendengarkan aktif, hingga kampanye sosial yang mengangkat cerita penyintas adalah cara-cara sederhana namun efektif untuk membangun budaya empatik.

Aktivis sosial, pendidik, bahkan influencer media sosial memiliki peran penting dalam menyebarkan pesan ini. Dengan menyampaikan narasi yang jujur dan membumi, mereka bisa menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas dan menormalisasi percakapan tentang kesehatan mental.

Perubahan Dimulai dari Kesadaran Kolektif

Foto oleh Tima Miroshnichenko (pexels)
Foto oleh Tima Miroshnichenko (pexels)

Menghapus stigma sosial bukan perkara mudah, tetapi bukan pula hal yang mustahil. Perubahan besar selalu diawali dari langkah kecil---dari keberanian satu orang untuk bercerita, dari satu keluarga yang memilih untuk tidak menghakimi, dari satu komunitas yang memberikan ruang aman.

Sebagai masyarakat, kita memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan ruang hidup yang lebih manusiawi. Ketika kita berhenti menghakimi dan mulai mendengarkan, ketika kita berhenti menyamaratakan dan mulai memahami, saat itulah perubahan dimulai.

Menghargai diri sendiri dan orang lain berarti memberikan ruang untuk berproses, jatuh, dan tumbuh. Dan dalam dunia yang kerap memaksa kita untuk selalu tampak baik-baik saja, menjadi manusia yang berani menunjukkan luka adalah bentuk kekuatan yang sesungguhnya.

Stigma sosial terhadap kesehatan mental adalah tantangan kolektif yang harus dihadapi bersama. Melalui penerimaan diri dan edukasi empati, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih sadar, lebih peduli, dan lebih menghargai sesama. Sudah saatnya kita berhenti menyalahkan dan mulai memahami.

"Suarakan pendapatmu, yuk bantu hapus stigma!"

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun