Program-program edukasi empati bisa dimulai dari sekolah, tempat kerja, hingga komunitas lokal. Diskusi terbuka, pelatihan mendengarkan aktif, hingga kampanye sosial yang mengangkat cerita penyintas adalah cara-cara sederhana namun efektif untuk membangun budaya empatik.
Aktivis sosial, pendidik, bahkan influencer media sosial memiliki peran penting dalam menyebarkan pesan ini. Dengan menyampaikan narasi yang jujur dan membumi, mereka bisa menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas dan menormalisasi percakapan tentang kesehatan mental.
Perubahan Dimulai dari Kesadaran Kolektif
Menghapus stigma sosial bukan perkara mudah, tetapi bukan pula hal yang mustahil. Perubahan besar selalu diawali dari langkah kecil---dari keberanian satu orang untuk bercerita, dari satu keluarga yang memilih untuk tidak menghakimi, dari satu komunitas yang memberikan ruang aman.
Sebagai masyarakat, kita memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan ruang hidup yang lebih manusiawi. Ketika kita berhenti menghakimi dan mulai mendengarkan, ketika kita berhenti menyamaratakan dan mulai memahami, saat itulah perubahan dimulai.
Menghargai diri sendiri dan orang lain berarti memberikan ruang untuk berproses, jatuh, dan tumbuh. Dan dalam dunia yang kerap memaksa kita untuk selalu tampak baik-baik saja, menjadi manusia yang berani menunjukkan luka adalah bentuk kekuatan yang sesungguhnya.
Stigma sosial terhadap kesehatan mental adalah tantangan kolektif yang harus dihadapi bersama. Melalui penerimaan diri dan edukasi empati, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih sadar, lebih peduli, dan lebih menghargai sesama. Sudah saatnya kita berhenti menyalahkan dan mulai memahami.
"Suarakan pendapatmu, yuk bantu hapus stigma!"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI