Mohon tunggu...
Erwin Panigoro
Erwin Panigoro Mohon Tunggu... Dosen - Brand and Digital Science, Strategic Marketing, Consumer Research, Consumer Behavior, Political Marketing Communication, PhD in Marketing, Certified Marketing Analyst

#Brand #Digital Science #Research #Consumer Behavior #Penggiat & Pelaku UMKM #Civitas Akademika

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ritel Konvensional Berguguran Bukan Semata karena E-Commerce!

17 Januari 2019   10:45 Diperbarui: 17 Januari 2019   12:26 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy


Baru saja kita dikejutkan dengan tutupnya sejumlah Pusat Perbelanjaan dan Toko Ritel konvensional. Tentunya hal ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa dalam kondisi banyaknya bermunculan berbagai macam jenis bisnis restoran dan toko-toko lainnya justru beberapa ritel konvensional mengakhiri operasionalnya?

Banyak pengamat yang mengatakan bahwa gugurnya beberapa ritel konvensional ini dipicu oleh hadirnya E-Commerce yang menjadi gaya hidup baru masyarakat dalam berbelanja? Lalu, apakah dengan berbelanja dapat menggantikan semua proses pengambilan keputusan seseorang ketika ingin membeli sesuatu? Lalu bagaimana pelaku industri ritel mengantisipasi hal tersebut?

Mungkin kita semua sepintas pernah mendengar tentang "Experience Based Consumption". Ya, "Experience Based Consumption" adalah salah satu pola kebiasaan konsumen yang mengedepankan "kenyamanan dan kepuasan" dalam berbelanja dan membelanjakan uangnya demi mendapatkan hal-hal yang diinginkan untuk mewakili kepuasaanya.

Dalam sebuah riset terkini ditemukan bahwa, "Kenyamanan" adalah aspek penting bagi konsumen ketika berurusan dengan belanja kebutuhan baik yang sifatnya primer, sekunder atau tersier. Seorang ibu rumah tangga ketika ditanya, dimana ia suka berbelanja kebutuhan sehari-hari, jawabannya adalah toko terdekat, hal ini mengindikasikan bahwa jarak tempuh menjadi salah satu aspek disaat seseorang ingin membeli sesuatu. Hal ini pulalah yang berhasil di teropong oleh Indomart, Alfamart, Giant dan Transmart yang beberapa tahun terakhir ini berekspansi mendekatkan lokasi tokonya ke lokasi-lokasi perumahan atau pemukiman. 

Contoh lain, seorang pekerja swasta ditanya mengapa suka berbelanja online? Jawaban yang muncul adalah karena ia merasa nyaman, lalu apa aspek yang mewakili "kenyamanan" si pekerja tersebut? Ia mengungkapkan bahwa banyaknya pilihan barang, pilihan toko, hemat waktu, kemudahan membandingkan harga, kemudahan akses melihat pendapat orang lain, harga lebih murah, kemudahan pembayaran, serta tidak lelah karena kondisi jalanan yang macet ketika hendak pergi ke sebuah toko, adalah jawaban-jawaban yang mewakili kesukaannya ketika berbelanja online.

Kedua hal tersebut diatas adalah salah satu contoh bahwa telah terjadi perubahan kebiasaan ditatanan masyarakat luas saat ini yang tidak bisa kita tampik bahwa perubahan-perubahan itu terjadi juga dipicu oleh upaya "Disruptive Innovation" dari para pelaku bisnis online.

Perubahan gaya hidup yang paling menonjol adalah ketika masyarakat menganggap bahwa "liburan" atau istilah kerennya "Leisure" bukan lagi sesuatu yang sulit dicapai, Mengapa? Mari kita lihat fenomena "Food Leisure" yang merebak 3 tahun terakhir ini. 

Masyarakat menempatkan bahwa "Food Leisure" yang kita kenal dengan "Wisata Kuliner" adalah sebagai salah satu agenda kegiatan ditengah-tengah kesibukan disepanjang minggu yang dipercaya menghasilkan perasaan senang tertentu dan menghilangkan kejenuhan. Hal ini tentunya telah menjatuhkan prinsip bahwa liburan itu butuh waktu khusus dan tempat khusus, yang mana jika melihat "Food Leisure' tersebut tentunya dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja oleh siapa saja, singkat kata "Leisure" menjadi sesuatu yang "timeless" dan "placeless".  

Disisi lain, "Food Leisure" juga dikait-kaitkan dengan merebaknya bisnis-bisnis makanan "Artisan". Yang mana ketahui, "Artisan Food" mengedepankan proses serta bahan baku untuk menampilkan daya tarik yang luar biasa atas makanan yang dibuat. Pada "Artisan Food, harga bukanlah aspek utama, tapi "Keindahan" adalah hal yang paling dicari. Lalu, jika seseorang menikmati keindahan, apa yang didapatkan? Jawabannya adalah Kepuasan.

Masih bicara tentang "Food Leisure", lalu apakah mengkonsumsi makanan dirumah juga dianggap sebagai liburan? Jawabanya adalah ya, Mengapa? Mengkonsumsi makanan secara bersama-sama, menentukan pilihan makanan yang sedang ramai dibicarakan, memesan makanan tanpa ada batasan waktu dan jarak serta melakukan pembayaran tanpa kesulitan, adalah hal-hal yang dianggap menghasilkan "Kebahagiaan" dan "Kenyamanan" ketika bercengkrama dan mengisi waktu luang bersama keluarga, teman dan kerabat. Lalu, siapa yang dapat membaca kebiasaan ini dan memanfaatkannya? GO-FOOD, GO-PAY, OVO, GRAB FOOD, GRAB PAY adalah salah satu upaya "Disruptive Innovation" dalam memanfaatkan perubahan-perubahan kebiasaan ditatanan masyarakat dan menciptakan kebiasan-kebiasaan baru.

Di waktu yang bersamaan, merebak pula fenomena yang terkait dengan pembelajaan barang fashion. Banyak para ahli berpendapat bahwa bisnis fashion tidak akan dapat dengan dengan mudah masuk ke bisnis online, Mengapa? Karena salah satu keputusan pelanggan disaat ingin membeli pakaian adalah "Menyentuh" dan "Mencoba". Namun dewasa ini, kedua hal tersebut bergeser. 

Dari data semester 1 2018, didapatkan bahwa barang yang paling banyak dibeli secara online adalah fashion. Tentunya hal ini tidak luput dari berkembangnya fenomena-fenomena baru ditatanan masyrakat, pertama, "Peer Influence" dan "Peer Pressure", dimana seseorang dengan mudahnya memutuskan pembelian ketika mendapatkan persetujuan dari kelompok atau teman-temannya. 

Perubahan perilaku ini pula yang membuat belanja barang fashion di toko online atau E-Commerce merangsek naik. Kedua, fenomena "Curated Fashion Brand", banyak bermunculan merek-merek lokal yang dalam waktu singkat menjadi tren dan idola dalam berpenampilan menjadikan sebuah gaya hidup baru. 

Orang tidak lagi fanatik dengan sebuah brand terkenal, namun sudah mempercayai kehadiran-kehadiran merek-merek lokal yang dianggap memiliki kualitas baik serta harga yang terjangkau. Curated Fashion Brand, adalah sebuah istilah yang disimbolkan kepada sebuah merek fashion lokal yang mendapat pengakuan dari para pelaku industri fashion lokal bahwa produk-produk dari merek-merek tersebut memiliki kualitas bagus, model yang terkini serta harga yang relatif terjangkau.

Melihat dari fenomena-fenomena tersebut, tentunya menjadi tantangan bahwa adanya perubahan kebiasaan ditatanan masyakarat harus selalu dicermati dan diantisipasi sebagai salah satu bentuk "Disruptive Innovation" di era digital ini. Para pelaku retail konvensional perlu mempelajari lebih dalam tentang konsep O-2-O (Offline-to-Online) yang tidak lain adalah upaya dalam menjangkau konsumen dengan memanfaatkan kemampuan dan manfaat dari kemajuan teknologi digital saat ini demi memahami secara mendalam tentang perilaku konsumen saat ini.

Sumber video : CNBC Indonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun